A.
PUSAT
– PUSAT KERAJAAN SUNDA
1.
KERAJAAN YANG BERPUSAT
DI GALUH
Galuh berkali-kali disebut dalam
Cerita Parahyangan. Dimulai dari awal Carita
Parahyangan yang menyebutkan nama Sanjaya yang disebut dalam prasasti
Canggal (732 M) yang berasal dari halaman percandian Gunung Wukir, Kecamatan
Salam, Magelang. Dalam prasasti ini Sanjaya dikatakan telah menggantikan raja
sebelumnya yang bernama Sanna. Ia mempunyai hubungan darah dengan Sanna karena
ia adalah anak Sannaha, saudara Sanna.
Carita
Parahyangan menghubungkan Sanjaya dengan pusat kerajaan Galuh, karena
disitu Sena berkuasa di Galuh. Pada suatu waktu terjadi perebutan kekuasaan
yang dilakukan Rahyang Purbarosa, saudara seibu raja Sena. Sena dibuang ke
Gunung Merapi (bukit Merapi di Kuningan, Jawa Barat) bersama keluarganya,
setelah dewasa Sanjaya mencari perlindungan kepada saudara tua ayahnya yang
berdiam di Denuh. Akhirnya, Sanjaya berhasil mengalahkan Rahyang Purbarosa,
sehingga berhasil mengangkat dirinya menjadi raja.
Selain pusat kerajaan Galuh
yang diperintah Sena di Jawa Barat terdapat kerajaan lain. Misalnya kerajaan
Kuningan yang diperintah oleh Sang Seuweukarma, dan kerajaan Sunda yang
disegani oleh Sanjaya. Sanjaya adalah menantu kerajaan Sunda yang bergelar
Tohaan (Yang Dipertuan) di Sunda yaitu Tarusbawa.
Berdasarkan berita-berita yang
diperoleh, dapat diduga agama yang dianut Sanjaya adalah Hindu yang bermazhab
Siwa. Dinyatakan dalam prasasti Canggal yang memuja dewa Siwa lebih banyak
dibandingkan Trimurti yang lain. Sifat agama ini tidak bertentangan dengan
cerita Parahyangan yang menyebutkan bahwa pemujaan yang umum dilakukan oleh
raja Galuh adalah sewabakti ring batara
upati. Upati diduga merupakan rusakan dari bahasa Sanskerta
utpati atau utpata, yaitu nama lain dari Yama, dewa pencabut nyawa (Menurut
dongeng Bali, Yama memiliki sifat yang sama dengan Siwa maupun Kala, dan
pemujaan untuk dewa tersebut tidak jauh berbeda).
Perkembangan agama Buddha juga
diketahui. Disini berkaitan dengan cerita Parahyangan yang mengatakan bahwa
Sanjaya memberi nasehat kepada Rahyang Tamperan, anaknya : … haywa dek nurutan agama aing, aing mretakuna
urang reya…,janganlah mengikuti agamaku, karena dengan itu aku ditakuti
orang banyak.
Dalam Carita Parahyangan, dijelaskan
bahwa Sanjaya pergi berperang ke daerah lain agar wilayahnya luas dan daerah
lain tunduk kepadanya. Daerah atau raja kecil yang berhasil dikalahkannya
antara lain Mananggul, Kahuripan, Kadul, Balitar, Malayu, Kemir, Barus, dan
Cina. Sehabis memerangi daerah-daerah tersebut, Sanjaya kembali ke Galuh.
Pada waktu bersamaan, di
Saunggalah(Kuningan) diperintah oleh Sang Seuweukarna yang masih saudara
Sanjaya. Dalam cerita Parahyangan, Sang Seuweukarma ini juga menaklukan daerah
yang diakui telah ditaklukan oleh Sanjaya sendiri.
Keadaan ini tidak memuaskan Sanjaya,
sehingga ia mengirim utusan ke Saunggalah. Kedua raja ini akhirnya berdamai dan
tidak sampai mengakibatkan pertikaian diantara keduanya.
1.
Pusat Kerajaan
Prahajyan Sunda
Nama sunda kemudian muncul lagi pada rasasti
yang berasal dari tahun 952 saka atau 1030 masehi. Prasasti ini ditemukan
dikampung Pangcalikan dan Bantaarmuncang, di tepi sungai Citcatih,daerah
Ciladak, Sukabumi.prasasti Sanghyan Tapak ini berasal dari jawa kuno dan
berhuruf jawa kuno. Nama tokoh yang
disebut pada prasati ini ialah Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti
Samarawijaya Sakalabhuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana
Wikramotunggadewa, sedangkan daerah kuasanya disebut Prahajyan Sunda. Selain
bahasa dan tahunya , prasasti ini sangat menarik, karena gelar digunakan
Jayabhupati sangat mirip dengan gelar Airlangga di jawa timur. Karena gelar
yang mirip itu da yang beranggapan bahwa Sri Jayabhupati adalah seorang bawahan
raja airlangga dan sebaliknya. Sementara itu ada pula yang beranggapan bahwa
gelar yang sama itu tidak ada sangkut pautnya dengan keadaan politi di anatara
kedua wilayah itu.
Jika mengingat pada masa itu Airlangga masih
sibuk berusaha untuk menyatukan daerah-daerah yang terdekat, barangkali
kemungkinan terakhir itulah yang paling dapat diterima. Akan tetapi berdasarkan
bahasa dan isinya prasasti itu di akui ada hubunganya antara Jawa Barat dengan
Jwa Timur. Pernyataan Sri Jayabhupati berulangkali nahwa ia adalah raja dari
sunda.,dapat dianggap ia menyakinkan kedudukanya sebagai raja sunda. Hal itu
sama sekali tidak terdapat pada prasasti-prasasti berbahasa sunda , sama halnya
dengan kutukan-kutukanya. Prasasti berbahasa sunda pada umumya tidak memuat
kutukan yang sedemikian mengerikan, tetapi berisi tentang harapan mereka agar
melakukan pada apa yang di anjurkan pada prasati,memperoleh kebahagiaan, dan
yang melanggar akan celaka.
Prasasti itu menyebutkan bahwa pada tahun 1030
M Jayabhupati membuat tepek disebelah timur Sanghyan Tapak. Daerah larangan itu
berupa sebagian dari sungai yang kemudian ditutup untuk segala macam
penangkapan ikan. Daerah larangan itu juga ditetepkan batas-batasnya,
berbataskan Sanghyan Tapak tempat pemujaan di hulu, di hilir berbataskan
Sanghyan Tapak tempat pemujaan terdapat dua buah batu besar.
Prasasti itu menyebutkan adanya pemujaan terhadap telapak kaki. Pemujan itu bukan
suatu hal yang aneh di Indonesia. Masyarakat yang sederhana , lambamng telapak
kak ini (manusia maupun hewan) memiliki ciri yang istimewa, untuk menggambarkan
kehadiranya di dunia ini dan juga di anggap mempunyai rahasia. Tapak kaki yang
di maksud dalam prsasti itu adalah teapak kaki yang terpahat pada batu di
puncak Gunung Perbakti, Cicurung, Sukabumi. Jia dihubungkan dengan daerah
larangan itu, besar sekali kemungkinan dugaan terlalu dicari-cari. Selanjutnya
dikatakan juga jika melanggar larangan tersebut akan terkena sumpah, sumpahnya
antara lain ialah : terbelah kepalanya, terminum darahnya, terpotong-potong
ususnya, terisap otaknya, dan terbelah dadanya. Dan sumpah itu berlaku
sepanjang masa dan tanpa disadari pengaruh itu masih dipercaya hingga sekarang.
Dari gelarnya yang panjang dapat pula diketahui
bahwa Sri jayabhupati adalah seorang penganut beragama hindu dari mazab
Waisnawa. Walaupun prasasti Sanghyan Tapak menyebutkan nama daerah yang
dikuasai oleh Jayabhupat, dan prasasti tersebut ditemukan disekitar sungai
Cicatih, ini bukan berarti pusat kerajaan sunda berada disitu. Berdasarkan
perhitungan tahun-tahun lamanya pemerintahan seorang raja sebagaimana
disebutkan dalam Cerita Paharyangan, akan terdapat masa keocokan masa
pemerintahan Sri Jayabhupati dengan tokoh Sang Rekeayan Darmasiksa. Tokoh ini
dikaitkan dengan titisan Batara Wisnu. Sri Jayabhupati juga, berdasarkan
prasastinya dapat dipastikan beragama waisnawa, sehinga sudah terdapat
ciri-ciri kesaan terhadap dua tokoh ini. Kemudian Cerita Paharyangan juga
menyebutkan bahwa Rekeyan Darmasiksa telah membuat beberapa buah daerah
larangan , sedangakan sebagaimana yang telah diketahui, Jyabhupati juga telah
menojolkan peresmian daerah larangan. Rekeyan Darmasiksa dapat lema memerintah
karena ia memperoleh berkah dari para pendeta yang berpegang teguh kepada milik
asali sunda, yaitu Sanghyan Darma dan Sanghyan Siksa.
Dapat ditetapkan pula jika Sri Jyabhupati
ditetapkan dalam suatu rangkaian kisah sejarah Sunda sebagai satu kesatuan.
Selanjutnya, jika dugaan bahwa Rekeyan Darmasiksa pada cerita Paharyangan sama
dengan tokoh Sri Jayabhupati pada prasasti SanghyanTapak, dapat diduga bahwa
pusat kerajaan sunda ada masa pemerintahan Jyabhupati terletak di Pakwan Pajajaran.tidak lama kemudian pusat
kerajaan itu berpindah lagi, dan kali ini daerah Kawali terpilih sebagai
pusatkerajaan, telatnya tidak jauh dari kerajaan Galuh pada masa Snjaya.
Ditemukan prasasti Horren, prasasti ini
menyebutkan bahwa penduduk kampung Horren sering kali merasa tidak aman karena
da kemungkinn datang musuh dari Sunda. Menurut Stutterheim, [prasasti ini
berasal dari zaman Majapahit. Dan jika memang benar pastilah prasasti ini
berasal dari zaman sesudah terjadinya peristiwa Bubat (1357 M). Akan
tetapi jika bahasa di perhatikan,
bahasanya lebih dekat dengan zaman Airlangga (abad XI M), sehingga besar
kemungkinan jika prasasti iyu memang berasal dari abad XI M. Sementra pada
wakyu itu Airlangga sendiri masih sibuk memerangi raja-raja daerah
sekelilingnya yang pada umunya terletak di Jawa Timur. Memang cukup berhaya
jika tiba-tiba datang serangan dari daerah yang lebih jauh letaknya sehingga
didalam usaha Airlangga menyatukan dan memperluas wilayah kerajaanya, daerah
sunda tidak diperhitungkan.
Setelah beberapa lamanya tidak terdengar adanya
sengketa dengan negara-negara tetangga, pada tahun 1357M terjadi lagi sengketa
yang sekali ini berakhir pada satu peristiwa penting. Terbukti dalam rekaman
dari beberapa naskah, yaitu : naskah pararaton kidung sundayana, dan cerita
paharyangan yang menyebutkan terjadinya peristiwa penting tersebut.
Peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan
Hayam Wuruk di Majapahit itu melibatkan raja Sunda yang bernama Prebu Maharaja,
yang memusatkan pemerintahan di daerah Kawali. Jika naskah nagarakratagama yang
di tulis oleh Pu Prapanca pada tahun 1356 M tidak memberitakan apapun tentang
peristiwa itu, haruskah ini di tinjau oleh kedudukan penyair waktu
menuliskanya. Jadi jika prapanca tidak menyinggung sedikitpun juga peristiwa
Bubat itu bukanlah karena ketidaktahuan, melainkan justru ia tidak mau
menuliskanya.
1.
KERAJAAN
KAWALI
Menurut
prasasti Astanagede dapat diketahui bahwa pada masa pemerintahan Prabu Raja
Wastu pusat kerajaan telah berpindah dari Pakwan Pajajaran ke Kawali. Prabu
Raja Wastu yang bertakhta di kota Kawali dengan keratonnya bernama Surawisesa
telah membuat parit di sekeliling keraton dan mendirikan desa-desa dan
meresmikannya,serta mengharapkan agar mereka yang datang kemudian berbuat
kebajikan, sehingga dengan demikian dapat hidup lama dan berbahagia di dunia.
Prabu
Raja Wastu pada prasastu Kawali adalah tokoh yang sama dengan yang disebut
dengan sebagai Rahyang Niskala Wastu Kancana pada prasasti batutulis dan
kebantenan yaitu kakek Sri Beduga Maharaja. Hal ini memberikan kemungkinan
bahwa setelah Prabu Wastu meninggal ia kemudian digantikan oleh anaknya yang
bernama Rahyang Ningrat Kancana pada prasasti kebantenan atau Rahyang Dewa
Niskala pada prasasti Batutulis.
Menurut
prasasti batutulis, Rahyang Niskala Wastu Kancana dimakamkan di Nusalarang,
sedangkan Rahyang Dewa Niskala di Gunatiga. Di dalam cerita Carita Parahyangan , tokoh Dewa Niskala
atau Ningrat Kancana dikatakan sebagai Tohaan di Galuh (=yang dipertuan di
Galuh). Sehingga dapat disimpulkan bahwa sampai pada masa pemerintahannya,
pusat kerajan Sunda masih terletak di Galuh, tepatnya di sekitar kota Kawali
sekarang.
Menurut
Pararaton, pada tahun 1357 Masehi terjadi pristiwa yang dikenal sebagai
Pasundan Bubat, suatu pertikaian politik antara kerajan Majapahit dan Sunda.
Peristiwa ini juga dikenal dalam Carita
Parahyangan yang menyebutkan: (punya anak, Prebu Maharaja, lamanya menjadi
raja tujuh tahun, lantaran terkena bencana, terbawa celaka oleh anaknya yang
bernama Tohaan, meminta terlalu berat syaratnya. Bermula banyak orang yang
pergi ke Jawa, karena tidak mau bersuami di Sunda. Terjadilah perang di
Majapahit).
Dari
Carita Parahyangan itu jelas bahwa
yang memerintah ketika itu adalah Prebu Maharaja, dikatakan ia berkuasa selama
tujuh tahun , diperkirakan ia mulai menjadi raja pada tahun 1350 M, pada tahun
yang sama dengan naik takhtanya Hayam Wuruk di Majpahit. Carita Parahyangan memberitakan bahwa bahwa sang raja masih
mempunyai anak yang terkenal, bernama Niskala Wastu Kancana. Yang disebut
dengan nama yang berbeda pada prasasti kawali, kebantenan, dan batutulis.
Ketika
peristiwa bubat terjadi, Wastu Kancana masih kecil,sehingga pemerintahan untuk
sementara diserahkan kepada pengasuhnya yang bernama Hyung Bunisora yang
berttindak seolah-olah ia sendirilah raja yang sah di Sunda. Hyang Bunisora
berkuasa selama 14 tahun, dan bukannya enam tahun sebagaimana pendapat
sebelumnya. Hal itu didasarkan pada perhitungan masa pemerintahan yang termuat
dalam Carita Parahyangan, dengan
berpegang pada tahun 1579 sebagai tahun keruntuhan kerajaan Sunda.
Setelah
dewasa, Wastu Kancana menerima kembali tampuk pemerintahan dari Hyung Bunisora.
Ia memerintah selama 104 tahun. Masa pemerintahan yang sangat lama ini
disebabkan oleh beberapa hal antara lain: ia selalu menjalankan agama dengan
baik dan memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Dijelaskan Pada masa
pemerintahannya tetua kampung nikmat makan, sang resi tenteram menjalankan
peraturan keresiannya mengamalkan purbatisti purbajati. Dukun-dukun dengan
tentram mengadakan perjanjian-perjanjian memakai aturan yang bertalian dengan
kehidupan, membagi-bagi hutan dan kitarannya, baik oleh si kecil maupun si
besar tidak ada kerewelan sedikitpun, bahkan para bajak laut pun merasa aman
berlayar menurut aturan sang raja ...berpegang teguh pada undang-undang raja,
berdiri teguh pada undang-undang raja, berdiri pada sanghyang Linggawesi,
berpuasa dan memuja tidak kenal batas. Sang Wiku dengan tenang menjalankan
undang-undang dewa, mengamalkan Sahyang Watagageung. Karena keyakinannya pula
ia meletakkan jabatannya.
Cukup
menarik pemberitaan tentang Prabu Niskala Wastu Kancana ketimbang pemberitaan
mengenai raja-raja atau tokoh lain, Carita
Parahyangan menyediakan cukup banyak tempat. Setelah wafat Niskala Wastu
Kancana digantikan oleh anaknya yang bernama Tohaan di Galuh. Ia memerintah
selama tujuh tahun, ia melakukan kesalahan dengan jatuh cinta kepada perempuan
dari luar yang membuat ia tidak lama menjadi raja.
1.
PUSAT
KERAJAAN PAKWAN PAJAJARAN
Ningrat Kancana atau Tohaan di Galuh digantikan
oleh anaknya sendiri yang bernama Sang Ratu Jayadewata. Pada prasasti
Kebentenan, tokoh ini disebutkan sebagai “yang kini menjadi susuhunan di Pakwan
Pajajaran”, tokoh ini pula yang pada prasasti Batutulis disebut dengan nama
Prabu Guru Dewataprana.
Sejak masa pemerintahannya, pusat kerajaan
telah beralih lagi dari Kawali dengan keratonnya yang bernama Surawisesa ke
Pakwan Pajajaran. Baik keraton Kawali maupun keraton Pakwan Pajajaran sama –
sama mengandung unsur sura, suatu hal
yang masih dilanjutkan pada nama keraton Banten, yaitu surasowan dan surakarta
atau jayakarta untuk tempat yang
sebelum jatuh ke tangan Islam bernama Sunda Kelapa. Prasasti Kebantenan
menyebutkan usaha Jayadewata untuk membuat daerah kependetaan bernama Jayagiri
dan Sunda Sembawa. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai usahanya untuk lebih
menggiatkan usaha pengajaran keagamaan.
Sang Ratu Jayadewata menjalankan
pemerintahannya berdasarkan kitab – kitab hukum yang berlaku, sehingga
pemerintahannya berjalan dengan aman dan tentram. Pada masa itu tidak terjadi
perang, jika ada rasa tidak aman, hal itu hanya terjadi pada mereka yang berani
melanggar Sanghyang Siksa.
Pada masa pemerintahan Sang Ratu Jayadewata,
sudah ada penduduk kerajaan Sunda yang beralih agama. Berita Portugis
mengatakan bahwa di Cimanuk, yakni kota pelabuhan yang sekaligus merangkap menjadi
batas kerajaan Sunda disebelah timur, banyak dijumpai orang Islam. Mereka
inilah yang munkin dalam Carita
Parahyangan disebutkan merasa tidak aman karena melanggar Sanghyang Siksa.
Pengaruh Islam memang belum sampai ke pusat
kerajaan, namun Sang Ratu Rajadewata sudah mengantisipasinya dengan mencari
sekutu, yakni Portugis yang ketika itu sudah menduduki Malaka. Oleh berita
Portugis dikatakan bahwa pada tahun 1512 M dan 1521 M, Ratu Samiam (Sanghyang)
dari kerajaan Sunda memimpin perutusan ke Malaka, tetapi pada tahun 1522 M
Hendrik de Leme memimpin perutusan Portugis ke Sunda yang beribu kota di Dayo,
Ratu Samiam sudah berkuasa sebagai raja. Jika hal ini dihubungkan dengan Carita Parahyangan, berarti Ratu Samiam
adalah seorang raja yang gagah dan berani yang menggantikan Sang Ratu
Jayadewata dan memerintah selama 14 tahun (1521–1535 M). Ini berarti bahwa pada
waktu memimpin perutusan ke Malaka, kemungkinan terbesar adalah Ratu Samiam
atau Surawisesa ini menduduki jabatan sebagai putra mahkota.
Ketika banyak penyerbuan terjadi, yang menjadi
Raja adalah Prabu Ratudewata (1535–1543 M). Masa pemerintahannya diakui sebagai
masa yang penuh derita. Beberapa kali pasukan Islam berusaha merebut ibu kota
kerajaan, tetapi usahanya belum berhasil dan akhirnya tentara Islam memperoleh
kemenangan pada tahun 1559 M. Serangan – serangan itu dipimpin langsung oleh
Maulana Hasanuddin yang dibantu oleh anaknya, Maulana Yusuf.
Di dalam Carita
Parahyangan dan naskah Purwaka Caruban Nagari dikatakan bahwa sekitar abad
XV Masehi, di Cirebon telah ada perguruan Islam, jauh sebelum Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dilahirkan. Pada masa itu memang diduga
Cirebon sudah merupakan sebuah kota yang cukup ramai, dengan penduduknya
campuran antara orang – orang Sunda dan orang – orang Jawa.
Jatuhnya Sunda Kelapa, pelabuhan terbesar
keajaan Sunda ke tangan pasukan Islam pada tahun 1527 M, telah menyebabkan
terputusnya hubungan antara pusat kerajaan Sunda yang terletak di pedalaman,
dengan daerah luar. Bala bantuan Portugis tidak pernah dapat sampai ke Dayo,
karena keadaan pada waktu itu tidak memungkinkan. Jalan niaga kerajaan Sunda
satu persatu jatuh ke tangan pasukan Islam, sehingga raja hanya dapat bertahan
di pedalaman.
Dalam keadaan seperti itu, kerajaan Sunda
justru sudah tidak punya lagi pemimpin yang meyakinkan. Prabu Ratudewata yang
menggantikan Surawisesa, malah hidup sebagai raja pendeta, dan tidak
menghiraukan kesejahteraan rakyatnya. Pada masa pemerintahannya itulah terjadi
serangan – serangan yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Raja
penggantinya yakni Sang Ratu Saksi yang merupakan seorang yang kejam dan suka
main perempuan. Demikian pula pengganti Sang Ratu Saksi, Tohaan di Majaya yang malah
memperindah keraton, mabuk – mabukan, berfoya – foya, dan melupakan tugasnya
sebagai raja. Pada masa pemerintahan
raja terakhir yakni Nusiya Mulya, kerajaan pun sudah tidak mungkin
dipertahankan lagi. Kerajaan Sunda dikalahkan oleh Islam pada masa akhir
pemerintahannya.
Di bidang politik, Jayadewata juga melakukan
tindakan – tindakan yang cukup tegas di dalam usahanya menghadapi meluasnya
Islam didaerahnya. Ia melakukan hubungan dengan Portugis, yang sejak tahun 1511
M telah menguasai bandar Malaka. Selain untuk menyelamatkan pernaiagaan Sunda,
juga hubungan itu dimaksudkan untuk menyelamatkan kerajaan sunda secara umum.
Hubungan dengan portugis sudah dimulai pada tahun 1512 M, ketika Jayadewata
mengirimkan perutusan yang dipimpin oleh Ratu Samiam (Sanghyang) yang meminta
bantuan kepada Alfonso d’Albuquerque, penguasa bandar Malaka. Ratu Samiam untuk
kedua kalinya datang ke Malaka pada tahun 1521 M dengan maksud yang sama,
tetepi pada waktu itu penguasa Malaka sudah diganti oleh Jorge d’Albuquerque.
Sebagai kunjungan balasan, juga dalam rangka
persetujuan diantara kedua belah pihak, pada tahun 1522 M pihak Portugis
mengirimkan Hendrik de Leme untuk memimpin perutusan ke Sunda. Jayadewata
digantikan oleh Surawisesa setelah ia
berkuasa selama 39 tahun. Pada tahun 1521 M adalah akhir masa pemerintahan
Jayadewata menurut perhitungan yang didasarkan pada pada tahun 1579 M sebagai
tahun terakhir pemerintahan raja Sunda Nusiya Mulya yang memerintah selama 12
tahun.
Dari berita itu dapat pula dipastikan bahwa Surawisesa
menurut Carita Parahyangan adalah
Ratu Samiam. Ini berarti bahwa Ratu Samiam sebelum naik takhta mempunyai
kedudukan yang cukup tinggi, dan kemungkinan besar sebagai putra mahkota.
Sebagai putra mahkota, ia berkuasa di daerah Sangiang, yaitu daerah yang
tetrletak di sekitar Jatinegara. Walaupun belum jelas ia anak raja atau bukan,
namun dalam hal raja Sunda yang tidak memiliki anak, penggantinya dipilih dari
raja – raja daerah yang paling besar dan penting, karena Kalapa adalah bandar
kerajaan Sunda yang terpenting dan terbesar sehingga raja daerahnya juga tidak
mustahil mempunyai kesempatan terbesar untuk menjadi raja seandainya raja yang
bertakhta di Dayo atau Pakwan Pajajaran tidak memiliki anak.
Perjanjian yang diselenggarakan antara Portugis
dan Sunda berlangsung ketika Ratu Samiam atau Surawisesa berkuasa. Perjanjian
itu terjadi pada tanggal 21 Agustus 1522 M, isinya adalah pernyataan pihak
Portugis untuk membantu kerajaan Sunda jika sewaktu – waktu kerajaan ini
diserang oleh orang Islam. Sebagai imbalannya, pihak Portugis diperkenankan
mendirikan benteng di bandar Banten, dan diberi hak untuk memperoleh lada
sebanyak 350 kuintal setiap tahunnya. Dari pihak Sunda yang menandatangani
perjanjian tersebuat adalah raja Sanghyang sendiri.
Walaupun sebelumnya sudah ditetapkan bahwa loji
Portugis akan didirikan di Banten, kenyataannya mereka memilih Kalapa sebagai
tempat yang cocok untuk pendirian loji tersebut. Di tempat yang mereka pilih
itu, mereka dirikan sebuah padrao,
yang letaknya di tepi sebelah timur muara Sungai Ciliwung. Ternyata benteng
atau loji itu tidak pernah berhasil mereka dirikan. Hal ini disebabkan
perjanjian tersebut baru tiba di Kalapa pada tahun 1527 M, ketika itu Kalapa
sudah dikuasai oleh pasukan Islam yang dipimpin oleh Feletehan. Usaha - usaha untuk merebutnya dari tangan Islam
oleh pihak Portugis tidak pernah berhasil, sehingga benteng portugis itu pun
tidak pernah didirikan. Sementara mengharapakan bantuan Portugis yang tidak
pernah tiba itu, Surawisesa terpaksa berperang sendiri melawan pasukan Islam.
Masa pemerintahan Surawisesa yang hanya 14
tahun itu (1521-1535 M), ia berperang sabanyak 15 kali, dan tidak pernah
mengalami kekalahan. Raja penggantinya yakni Prebu Ratudewata (1535-1543 M),
pada masa pemerintahannya benyak sekali tentara musuh yang datang menyerbu,
sehingga terjadilah pertempuran. Dalam pertempuran tersebut, gugur Tohaan
Sarendet dan Tohaan Ratu Sanghyang. Dapat diperkirakan bahwa Tohaan Ratu
Sanghyang yang gugur ini adalah raja daerah Sanghyang yang menggantikan
kedudukan Surawisesa setelah ia menjadi raja pusat. Kekacauan itu meliputi
daerah yang cukup luas sehingga terjadi juga di Ciranjang dan Sumedang,
sementara daerah kependetaan yang diresmikan oleh Ratu Jayadewata di Jayagiri
dibenamkan ke laut.
Pada masa Sang Ratu Saksi, Carita Parahyangan tidak memberikan uraian terjadinya perang. Namun
jika diingat, bahwa pada tahun 1546 M seluruh kekuatan kerajaan Demak
dikerahkan untuk menyerbu dan menaklukkan Pasuruan. Demak juga mengikutsertakan
armada Banten dan Cirebon yang dipimpin oleh Ki Fadhillah yang ketika itu sudah
diangkat menjadi raja di Kalapa sebagai wakil Sultan Demak. Sang Ratu Saksi
yang berkuasa selama 8 tahun itu (1543-1551 M) meninggal di Pengpelangan,
kemudian digantikan oleh Tohaan di Majaya (1551-1567 M). Karena kalah perang,
raja ini kemudian meninggalkan ibu kota kerajaan walaupun sebelumnya ia telah
memperindah keraton.
Pada masa pemerintahan raja yang terakhir yakni
Nusiya Mulya, keadaan sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Perubahan ditengah
penduduk makin terasa, terutama yang disebabkan oleh datangnya Islam. Pada masa
pemerintahannya itulah Islam mulai memperoleh kemenangan demi kemenangan dalam
perang – perang yang dilakukannya. Satu persatu daerah Rajagaluh, Kalapa,
Pakwan, Galuh, bahkan Portugis berhasil dikalahkan oleh Islam. Bersamaan dengan
itu, tamat pula riwayat kerajaan Sunda sebagai salah satu benteng terakhir
budaya Hindu-Buddha di Indonesia pada tahun 1579 M.
A.
KEADAAN
MASYARAKAT
1. Struktur
Birokrasi
Pajajaran
adalah sebuah pusat kerajaan, hampir semua bukti yang ada menunjuk Pajajaran sebagai pusat kerajaan, lengkapnya
Pakwan Pajajaran (prasasti Kebantenan dan Batutulis). Yang menyebut Pajajaran
sebagai nama kerajaan hanyalah carita pantun yang bernilai sastra.
Sumber-sumber
asing juga tidak pernah menyebut adanya kerajaan Pajajaran. Tome Pires
menyebutkan ada sebuah Negara Cumda (Sunda) dengan ibu kotanya bernama Dayo
(Dayeuh). Dalam bukunya Da Asia, Barros, menyebut bahwa daerah Sunda terbentang
antara ujung Jawa Barat sampai dengan sungai Cimanuk. Barbosa mengatakan bahwa
Qumda (Sunda) adalah suatu tempat yang kecil saja di mana banyak terdapat lada.
Dari
berita Cina, Cheng-ho, mengunjungi Negara di sebelah selatan Cina dan salah
satu yang pernah dikunjunginya bernama Sun-la,
kemungkinan besar Sun-la adalah
pelafalan Cina untuk Sunda.
Dari
dalam negeri, dalam Carita Parahyangan
menyebutkan adanya seorang Tohaan di Sunda (Yang Dipertuan di Sunda) sebagai
mertua Rahyang Sanjaya. Dalam Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian
menyebutkan “… kita pergi ke Jawa, tidak bisa mengikuti bahasa mereka, demikian
juga adatnya, canggunglah perasaan kita. Setelah kembali lagi ke Sunda tidak
dapat berbicara bahasa Jawa, seperti yang bukan pulang dari rantau…”
Kitab
Pararaton juga menyebutkan Sunda sebagai daerah ,” … lalu terjadilah peristiwa
Sunda-Bubat. Bhre Prabhu menginginkan putri dari Sunda. Patih Madu diutus untuk
mengundang orang Sunda. (karena) baiklah seandainya orang Sunda dijadikan
besan…”. Bahkan, ada sebuah naskah lain yang menggunakan Sunda sebagai namanya,
yaitu Kidung Sundayana.
Selain
bukti-bukti tersebut, beberapa bukti prasasti menyebut nama Sunda sebagai
sebuah nama kerajaan yaitu Prahajyan Sunda. Isinya yaitu, Sri Jayabhupati
menyebut dirinya sebagai haji ri sunda
(raja dari Sunda). Ada sebuah prasasti lagi yang diketemukan di Kediri Selatan
(Horren) yang menyebut tentang adanya penyerangan dari Sunda.
Tome
Pires menyebutkan, kerajaan Sunda dipimpin oleh seorang raja. Selain raja
pusat, didaerah-daerah tertentu dijumpai raja yang berkuasa didaerah
masing-masing. Hak waris takhta diturunkan kepada anaknya, tetapi jika raja tidak
punya anak, yang menggantikannya adalah raja daerah yang memiliki kekuasaan
terbesar.
Kerajaan
Sunda memiliki enam pelabuhan yang penting (Banten, Pontang, Cigede, Tamgara,
Kalapa, dan Cimanuk) dan masing-masing pelabuhan dipimpin oleh syahbandar atau nakhoda.
Tugas nakhoda adalah bertanggung jawab kepada raja dan bertindak sesuai wakil
raja di bandar-bandar yang mereka
kuasai.
Sanghyang
Siksakanda ng Karesian memberikan penjelasan lebih. “
… nihan sinangguh dasa
prebakti ngaranya. Anak bakti di bapa, ewe bakti di laki, hulun bakti di
pacandaan, sisya bakti di guru, wong tani bakti di wado, wado bakti di mantra,
mantra bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi
bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang…” .
inilah peringatan yang disebut sepuluh kebhaktian : anak bakti kepada bapa,
istri bakti kepada suami, rakyat bakti kepada majikan, murid bakti kepada guru,
petani bakti kepada wado, wado bakti kepada mantri, mantri bakti kepada nu
nangganan, nu nangganan bakti kepada mangkubumi, mangkubumi bakti kepada raja,
raja bakti kepada dewata, dewata bakti kepada hyang.
Dari Siksakanda ng Karesian, bisa dikatakan
seperti ini. Dalam pelaksanaan tugas harian raja dibantu oleh mangkubumi yang
membawahi beberapa nu nangganan. Raja digantikan oleh anaknya, akan tetapi
apabila raja tidak memiliki anak, raja
daerah bisa menggantikan kedudukan raja yang bertakhta di pakwan Pajajaran.
Untuk mengurusi masalah yang berhubungan langsung dengan perdagangan, raja
menunjuk seorang syahbandar sebagai pengawas dipelabuhan.
Menurut Tome Pires, ibu kota Sunda yang berada
di Dayo itu berjarak dua hari dari bandar Kalapa. Kotanya besar dengan penduduk
sekitar 50.000 jiwa. Rumah dikota sangat baik terbuat dari kayu dengan atap
terbuat dari daun palem. Raja tinggal diistana yang memiliki 330 buah tiang
kayu yang masing-masing sebesar peti anggur. Sedangkan tingginya 5 fathom atau
kira-kira 9 ,14 meter (1 fathom = 1,828 meter).
Winkler, pada tahun 1960 berkunjung ke kota
Dayo. Ia mengatakan bahwa ibu kota Pakwan Pajajaran terletak diantara 2 buah
sungai besar yang sejajar. Jadi pada abad XVII M, Pakwan juga dikenal sebagai
ibu kota kerajaan atau pusat kerajaan, dan bukan nama kerajaan itu sendiri. Hal
ini ditunjang oleh beberapa prasasti.
Prasasti Batutulis, menyebutkan bahwa Sri
Baduga Maharaja Ratu Haji di pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, ia itulah
yang memariti Pakwan. Prasasti Kebantenan Ц dan Ш berisi tentang “… selamat
mudah- mudahan tidak ada rintangan. Demikianlah sakakala (tanda peringatan)
Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, pendahulu
Yang Dipertuan yang sekarang (berada) di Pakwan Pajajaran.
Prasasti Kebantenan I/IV “… maafkanlah, ini
amanat dari Sri Baduga Maharaja, Ratu Haji di Pakwan, Sri Sang Ratu Dewata”.
Selanjutnya pada prasasti Kebantenan V “… ini adalah amanat bagi mereka yang
menghadap di Pajajaran”.
Prasasti lain yang menyebut Pakwan adalah
prasasti Huludayeuh yang juga dikeluarkan oleh raja Surawisesa. “…Ratu Purana
(Sri Baduga) Sri Maharaja Ratu Haji di Pakwan. Ia sang Dewata.”.
Dan cerita Parahyangan dan Fragmen Carita
Parahyangan juga bertalian dengan Pakwan Pajajaran.
Dari kutipan diatas, jelaslah bahwa Pakwan
Pajajaran adalah sebuah ibu kota kerajaan dan bukan nama kerajaan itu sendiri.
Meskipun, banyak kerajaan yang menggunakan nama ibu kotanya sebagai nama
kerajaan.
Arti Pakwan Pajajaran. Pendapat pertama yaitu pakwan = paku(tumbuhan paku) dan pajajaran = berjajar. Sehingga Pakwan
Pajajaran adalah tempat dimana banyak tumbuhan paku berjajar. Pendapat kedua
yang mencoba menghubungkan Pakwan dengan Pakuwan
dan Kuwu yang terdapat dalam kitab
Negarakertagama. Pendapat ketiga adalah kata paku dihubungkan dengan lingga kerajaan, paku dalam pengertian
lingga adalah pusat atau poros kerajaan.
Pakwan Pajajaran didirikan oleh Prabu Tarusbawa
yang disesuaikan dengan tokoh Tohaan dalam Carita
Parahyangan. Ia juga dianggap sebagi pendiri keraton Pakwan Pajajaran yang
bernama Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Dan nama keraton kerajaan
Kawali adalah Surawisesa, dan unsur sura
merupakan keraton induk.
Oleh karena itu, keraton Pakwan Pajajaran
dianggap sebagai Panca Persada ( lima buah bangunan ). Suradipati sebagai
pusatnya. Kelima keraton inilah yang disebut dalam
Carita Parahyangan. Kelima keraton ini disebut sebagai persemayaman
Sanghyang Sri Ratu Dewata atau yang disebut Sri Baduga Maharaja (Batutulis).
1. Agama
Cerita Paharyangan
jelas sekali memperhatikan semangat yang bersifat kehinduan. Naskah ini dibuka
dengan kisah tokoh yang legendaris bernama Sang Resi Guru dan punya anak yang bernama
Rajaputra. Walaupun kemudian Sanjaya
yang beragama hindu menasihati anaknya, Rahyang Tamperan atau Rekeyan
Panaraban, agar tidak mengikuti agama yang di peluknya. Hal itu terlihat ketika
memberitakan Sanghyan Darmasiksa, yang di katakan sebagai titisan Batara Wisnu,
di dalam naskah juga disebutkan adanya para pendeta yang gugur tanpa dosa,
ketika terjadi huru-hara pada masa pemerintahan Prabu Ratudewata (1535-1543 M).
Prasasti Sanghyan Tapak (1030 M) yang dikeluarkan oleh Sri Jayabhupati, juga memperlihatkan
kuatnya pengaruh agama Hindu.
Pengaruh Hindu ini rupanya cukup kuat, sehingga
di dalam naskah Sewakadarma yang juga di sebut Serat Dewabuda dan berasal dari
tahun 1357 saka atau 1435 M. Dan juga ditemukan nama-nama para dewa agama Hindu
seperti Brahma, Wisnu, Maheswara, Rudra, Sadasiwa, Yama, Baruna, Kuwera, Indra,
dan Besrakawa. Naskah ini, walaupun berasal dari daerah Gunung Cupu, sebuah
gunung yang cukup terkenal dalam dongengan yang hidup dalam kalangan orang
Sunda, ternyata mempergunakan bahasa Jawa Kuno.
Jadi rupanya, pada masa kerajaan Sunda yang
berlangsung sejak awal abad VIII hingga menjelang akhir abad XVI M, kehidupan
keagamaan masyarakat kerajaan itu bercorak Hindu-Budha yang telah berbaur pula
dengan unsur agama leluhur sebelumnya. Petunjuk ke arah ini ditemukan dalam
naskah yang sama, mangkubumi berbakti kepada ratu, ratu berbakti kepada dewata,
dewata berbakti kepada hyang.
Dari kutipan tersebut jelas bahwa pada awal
abad XVI M, kehidupan keagamaan yang pada masa sebelumnya hanya memperlihtakan
sifat-sifat agama leluhur. Ini membuktikan dengan “menurukan” derajatDewata di
bawah hyang. Selanjutnya Sanghyang Karesian memberikan keterangan, dengan
menujukan bahwa asas ajaran Budhaisme pada pemerintahan Sri Baduga Maharaja
telah dikembangakan dan diterapkan kedalam kehidupan sehari-hari. Sehgi negatif
pada ajaran Budhaisme telah di ubah menjadi segi positifdalam bentuk Dasamarga.
Bila hal ini dilaksanakan dengan semestinya menurut petunjuk Sanghyan
Siksakandang Karesian, negara akan makmur, rakyat akan sejartera, tanah akan
subur, tanaman tumbuh dengan subur, hujan akan turun dengan teratur dan
kehidupan dunia pun akan aman dan sentosa.
Pada masa itu terdapat orang-orang yang cukup
ahli di bidang keagamaan ini. Ada beberapa golongan yang dapat dijadikan tempat
bertanya hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan kerohanian dan kehidupan
keagaaman pada khususnya. Orang yang mengetahui dengan baik tingkat-tinglat
kehidupan agama ini disebut paratanda. Dari paratanda ini akan diketahui bahwa
acara kalah oleh adigama, adigama kalah oleh gurugama, gurugama akan kalah oleh
tuhagama, tuhagama kalah dengan satmata, satmata kalah oleh surakloka, dan
akhirnya surakloka kalah oleh nirawerah.
Orang yang mengetahui dengan baik aji mantra
disebut Brahmana. Orang tang dapat dimintai berbagai macam pemjaan yang di
lakukan di sanggar di sebut Janggan. Orang yang mengenal sandi, tapa, lungguh
dll, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan nata-nata para dewata, disebut sang
wiku para loka. Agama Hindu dan Budha pada masyarakat Sunda dapat dilihat dari
peninggalan-peninggalan arkeologis yang ditemukan hampir diseluruh wilayah Jawa
Barat dan Banten. Dipulau ujung , paling barat Banten ditemukan arca Ganesa dan
Siwa. Di Kabupaten Lebak ditemukan
sisa-sisa candi Siwa bersama dengan arca Agastya dan Ganesa. Di situs
yang sama , juga ditemukan arca Budha. Di kaki gunung Pulasari, Menes ,
Pandeglang ditemukan sebuah arca Hindu yang terdiri dari arca Siwa, Agastya,
Ganesa, Durga, Brahma, dan sebuah Yoni. Dikota Banten sendiri, tepatnya di
Karangantu ditemukan sebuah acra Nandi.
Tinggalan candi lainya berupa kompleks candi di
Cibuaya, Karawang. Di situs ini terdapat enam reruntuhan sisa bangunan dari
batu bata, diantara reruntuhan candi di sebut lemah duwur lanang yang pada
puncaknya terdapat lingga semu dan lemah duwur wadon. Tak jauh dari situs itu ,
terdapat tiga buah arca Wisnu, dua arca yang ,asih utuh dikenal dengan arca
Wisnu Cibuaya I dan Wisnu Cibuaya II yang berasal dari abad VII-VIII M.
Kemudian candi Bojongmence di Rancaekek, Bandung; Candi Camgkuan di Letes,
Garut. Di Indihang, Tasikmalaya ditemukan sisa-sisa pondasi dengan lingga dan
yoni. Ke arah timur lagi , yaitu daerah Ciamis, di Pamarican dan Klipucang
terdapat stuktur bangunan dan beberapa lingga, yoni, dan arca Nandi. Di Cisaga,
tidak jauh dari ditemukanya prasasti Mndiwunga dari abad X M terdapat situng
Karangkamulyan.kemudian di daerah Pangandaran yang dikelan dengan candi Kalde
ditemukan arca Nandi.
Tinggalan arkeologis candi budha di Jawa Barat
dan Bnten tidak sebanyak tinggalan agama Hindu.selain di Lebak, Banten,
sejumlah arca dari Pantheon Buddha ditemukan di Talaga, Majalengka. Di sampuing
arca tinggalan arkeologis agama adalah berupa bangunan suci terdapat di
Batujaya, Karawang. Bangunan suci tersebut merupakan bangunan kompleks
percandian yang cukup besar. Di Jawa Barat juga ditemukan tempat-tempat
pemujaan yang berupa bangunan berundak yang merupakan tradisi megalitik, tetapi
memperlihatkan bahwa situs-situs berasal dari masa Hindu-Budha yang dapat
dilihat dari prasasti, arca-arca dewa, lingga dan yoni yang ditemukan disitu.
Arca-arca yang ditemukan di Jawa Barat dan
Banten, baik dari arca-arca dewa maupun arca manusia, dipahat sederhana yang
mesih berciri arca megalitiks seperti arca Cikapundung dan Kosala. Demikan pula
dengan lingga, beberapa lingga ditemukan berupa lingga semu, artinya bukan
dalam bentuk lingga lengkap. Di situs Astana Gede, Kawali bertuliskan berypa
batu tegak atau menhir.
Seperti yang telah disutkan, masyarakat sunda
merupakan masyarakat ladang yang hidup berpindah-pindah, agama yang dijalankan
lebih mengutamakan isi dari pada bentuk, sehinga ukuran keagamaan di ukur bukan
dari nilai material benda-benda upacaranya.melainkan dari dalam hati dan
tingkah laku. Mungkin dari itu bangunan keagamaa, arca maupun lingga yang
terdapat di Jawa Barat bentuknya lebih sederhana dibandingkan dengan Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
1. Kesenian
Di dalam naskah
Sanghyang Siksakanda ng Karesian dapat diketahui adanya orang-orang yang
dipandang ahli disalah satu bidang kesenian, misalnya sastra, lukis, ukir, dan
gamelan. Orang yang mengetahui berbagai macam cerita disebut memen, sedangkan cerita – cerita yang
diketahuinya antara lain Damarjati,
Sanghyang Bayu, Pu Jayakarma, Ramayana, Adiparwa, Ranggalawe, Tantri, dll.
Jenis – jenis kawih
seperti kawih bwatuha, kawih panjang,
kawih lalanguan, dll. Ada juga macam – macam permainan yang disebut pameceuh yakni tatapukan, ubang-ubangan, ngadu lesung, ngadu nini, dll. Ada pula carita pantun yang merupakan cerita asli
berasal dari Sunda dengan ahlinya disebut prepantun,
dan pantun – pantunnya yaitu Langgalarang,
Banyakcatra, Hatur Wangi, dan Siliwangi.
Mengingat bahwa pada awal abad XVI M Siliwangi sudah dikenal sebagai
salah seorang tokoh dalam carita pantun,
ada kemungkinan bahwa Prabu Siliwangi adalah raja terbesar kerajaan Pajajaran
menjelang masuknya Islam. Namun tidak ada satupun sumber sejarah yang
menyebutkan salah seorang raja Sunda bernama Prabu Siliwangi. Niskala Wastu
Kancana yang sudah meninggal 40 tahun sebelum naskah ini ditulis itulah yang
mungkin dianggap sebagai Siliwangi.
Jenis – jenis batik adalah
kekembangan,
alas-alasan, urang-urangan, kembang terate, dll. Ahlinya disebut
lukis.
1. Ekonomi
Dalam naskah Sahyang ng Karesian,
memberikan keterangan mengenai pembagian kelompok masyarakat kerajaan Sunda
berdasarkan fungsi yang dimiliki tiap-tiap kelompok itu . oleh karena itu
dijumpai kelompok ekonomi yang kemudian terbagi lagi ke dalam beberapa
golongan, kelompok rohani, dan cendekiawan, kelompok alat negara, dan
sebagainya.
Kelompok
masyarakat berdasarkan ekonomi antara lain: pangalasan, (orang utas), juru
lukis(pelukis), pande dang(pandai tembaga, pandai perabot tembaga), pande mas
(pandai emas), pande glang (pandai gelang), pande wesi (pandai besi), dan lain
sebagainya.
Kelompok
masyarakat yang bertugas sebagai alat negara adalah mantri bayangkara (penjaga
keamanan), prajurit (prajurit, tentara), pam(a)rang (pemegang tentara), nu
nangganan (nama jabatan dibawah mangkubumi), kepala prajurit disebut hulu
jurit. Kelompok rohani dan cendekiawan terdiri dari memen (dalang), yang
mengetahui berbagai macam cerita, paraguna,yang
mengetahui berbagai macam lagu, hempul, yang mengetahui berbagai macam
permainan, prepantun,yang mengetahui berbagai macam pantun, marangguy yang mengetahui berbagai macam ukiran, dan
lain sebagainya.
Semua
kelompok masyarakat yang disebutkan di atas dalam menjalankan tugasnya
masing-masing sesuai dengan fungsinya disebut ngawakan tapa di nagara (melaksanakan tapa di tengah negara).selain
itu ada juga pekerjaan yang disebut cakut
marut, sesuatu yang pantang diturut. Pekerjaan itu antara lain: meor, ngodok, (merogoh), nyepet(mencopet), ngarebut,(merebut,merampas), ngarorogoh, (merogoh saku), pepanjingan, (memasuki rumah orang), maling (mencuri), ngabegal, (membegal).
Kerajaan
Sunda adalah negara yang umumnya hidup dari pertanian, terutama perladangan. Di
dalam Carita Parahyangan hanya satu
kali disebutkan sawah, itu pun dalam hubungannya dengan nama suatu tempat yang
disebut sawah tampiran dalem, tempat
dipusarkannya Ratu Dewata. Petunjuk selebihnya, mengarahkan kenungkinan adanya
masyarakat yang berladang, yang dimulai dengan berita tentang kelima orang
titisan pancakusika, dimana tiga
orang masing-masing menjadi pahuma,
(peladang), panggerek (pemburu), panyadap (penyadap), yang ketiganya
itu merupakan jenis pekerjaan di ladang.
Demikian
juga dengan berita yang diperoleh dari Sahyang Siksakanda ng Karesian yang
menyebutkan penyewah sekali saja, dan itu pun masih pekerjaan yang dianjurkan
untuk dipelajari. Ciri yang paling menonjol pada masyarakat berladang adalah
selalu berpindah tempat, yang secara langsung turut memberi pengaruh terhadap
bangunan tempat tinggal mereka.
Manusia
yang hidup berladang umumnya bertempat tinggal di ladangnya masing-masing yang
membuat mereka hidup terpencil dari peladang lain yang menjadi tetangganya. Ini
menyebabkan taraf kebersamaan masyarakat
ladang lebih longgar dibandingkan dengan masyarakat sawah.hal ini bukanlah
sarana yang baik untuk tempat berkembangnya sastra atau hasil seni lainnya
tetapi Adanya memen yang mengetahui berbagai macam cerita dan pepantun yang mengetahui berbagai
cerita pantun, sudah memberikan petunjuk bahwa jenis-jenis seni telah dikenal
oleh masyarakat Sunda pada masa itu.
Kerajaan
Sunda mempunyai enam buah bandar yang cukup ramai dan penting. Melalui ke enam
bandar itulah kerajaan Sunda melakukan niaga atau perdagangan dengan
daerah maupun negara lain. Bahan makanan
dan lada adalah barang dagangan yang merupakan sumber penghasilan kerajaan
Sunda. Selain itu barang-barang lainnya yang dapat diperoleh dari bandar-bandar
kerajaan sunda adalah sayur-mayur, sapi, kambing, biri-biri, babi, tuak, dan
buah-buahan.
Mata
uang yang beredar di Kerajaan Sunda menurut Tome Pires disebut ceitis, calais,(=1.000 ceitis).
Sedangkan untuk pembayaran kecil, menggunakan mata uang Cina.
Bandar-bandar
kerajaan Sunda oleh Tome Pires digambarkan sebagai berikut: Banten merupakan sebuah kota niaga yang
baik, terletak ti tepi sungai yang dikepalahi oleh syahbandar yang wilayah
niaganya mencapai Sumatra bahkan sampai ke kepulauan Maladewa. bandar itu
memperdagangkan beras, bahan makanan lain, dan lada. Pontang merupakan sebuah kota
yang besar, tetapi pelabuhannya tidak sepenting Banten. Sedangkan barang
yang diperdagangkan sama dengan yang ada di Banten. Cigede juga sebuah kota yang besar.perniagaan dengan bandar ini
dilakukan dengan Pariaman, Andalas, Tulangbawang, dan lain-lain. Barang
dagangannya pun sama dengan kedua bandar di atas. Tamgara yang juga sebuah
kota yang besar, barang niaganya sama dengan bandar-bandar yang disebutkan di
atas. Kalapa adalah pelabuhan
kerajaan Sunda yang terbaik hubungan niaganya antara lain dengan Sumatra,
Palembang, Lawe, Tanjungpura, Malaka, Makassar, Jawa dan Madura. Kalapa
terletak kira-kira dua hari perjalanan drai ibu kota kerajaan Sunda yang
disebut Dayo,tempat bersemayam raja.
Para pedagang dari seluruh kerajaan Sunda selalu berdatangan ke bandar ini.
Kota ini diperintah dengan cukup tertub dan teratur . di bandar ini terdapat
pengadilan, lengkap dengan hakim dan paniteranya. Yang bertugas mengadili
pelanggaran yang dilakukan penduduk kota itu, atas peraturan Raja yang tertulis
demi ketertipan kota. Cimanuk merupakan peabuhan yang terletak paling timur
dan menjadi batas kerajaan. Di bandar ini sudah banyak berdiam orang-orang yang
beragama islam, walaupun syahbandarnya sendiri masih seorang yang beragama
Sunda.
Di
samping itu Kerajan Sunda juga mempunyai jalan lalu lintas darat yang cukup
penting namun jarang diketaui oleh para pedagang asing di masa yang lebih
kemudian. Jalan darat itu berpusat di Pakwan Pajajaran dengan karangsambung
yang terletak di tepi Cimanuk – batas kerajaan di sebelah timur-melalui
Cileungsi dan Cibarusah, lalu dari sana membelok ke arah utara sampai ke
Tanjungpura ada sambungannya melalui Cikao dan Purwakarta, kemudian berakhir di
Karangsambung. Sementara itu, jalan lainnya yang menuju ke barat, bermula dari
Pakwan Pajajaran melalui jasinga dan Rangkasbitung, menuju Serang dan berakhir
di Banten yang merupakan bandar Kerajan Sunda yang paling berat. Melalui
jalan-jalan darat dan sungai itulah hasil bumi kerajaan Sunda diangkut, dan
melalui jalan yang sama itu pula kebutuhan penduduk di daerah pedalaman
terpenuhi.
Bahasa-bahasa
asing yang dikenal pada masa Kerajaan Sunda disebut carek paranusa, antara lain tercakup di dalamnya bahasa-bahasa Cina, Keling, Parasi, Mesir, Samudra,
Banggala, Makassar, Pahang, Palembang, Siem,Kalanten, Bangka, Buwun, Beten,
Tulangbawang, Sela, Tego, Pasai, Paryaman, Nagaradekan, Dinah, Andeles,
Moloko,Badan, Kebo, Malangkebo, Mekah, Laweh, Saksak,Sebawa, Bali, Jengi,
Sabini,Ngogan, Kanangen, Kumiring, Simpangtiga, Gumantng, Manumbi, Babu, Nyiri,
Sapari, Patukangan dan masih banyak
lagi. Dari bahasa-bahasa tersebut dapat dijadikan petunjuk dengan daerah mana
saja kerajaan Sunda melakukan hubungan dagang. Di dalam kegiatan tersebut
rupanya juru baca darmamurcaya memegang
peran yang cukup penting, karena dengan bantuan mereka itulah talimarga antara
orang-orang yang berhubungan itu dapat terlaksana.
referensi:
Referensi :
R. P. Soejono. 1984. Sejarah Nasional
Indonesia Ц. Jakarta: PT Balai Pustaka
.2007. Sejarah Nasional Indonesia Ц. Jakarta: PT Balai Pustaka