Pencarian

Sabtu, 24 Januari 2015

PENYEBAB DISINTEGRASI ISLAM PADA MASA DINASTI ABBASIYAH



PENYEBAB DISINTEGRASI ISLAM PADA MASA DINASTI ABBASIYAH
Galih Yoga Wahyu Kuncoro
Universitas Negeri Malang
130731615690

Abstrak
Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad menjadi salah satu pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Baghdad menjadi pusat intelektual dan pusat aktivitas pengembangan ilmu.
Sebagai pusat peradaban Islam, khalifah Bani Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari provinsi-provinsi dengan pembayaran upeti. Alasannya, pertama, mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk menundukkan semua penguasa. Kedua, Bani Abbas lebih menitikberatkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih meneekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada persoalan politik itu, beberapa provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah. Sehingga menimbulkan disintegrasi

Kata Kunci :
Abbasiyah. Disintegrasi, Pemisahan. Khalifah

Pendahuluan
Dinasti Abbasiyah di Baghdad yang didirikan oleh Abul Abbas Ash-Shaffah merupakan salah satu dinasti terbesar pada masa Islam. Dinasti ini menggantikan dinasti sebelumnya yaitu Bani Umayyah.
Peradaban Islam tumbuh dan berkembang bahkan mencapai kejayaannya pada masa Abbasiyah. Hal ini dikarenakan oleh penekanan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah.
Pada mulanya, ibu kota negara adalah Al-Hasyimiyah dekat Kuffah. Namun untuk memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu Al-Manshur memindahkan ibu kota ke Baghdad. 
Dunia islam yang menjadi satu kesatuan pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dan pemerintahan Bani Umawiyah. Sejak jatuhnya pemerintahan Bani Umawiyah mulailah terjadi keretakan dalam Dunia Islam. Sebagaian wilayah memisahkan diri dari pemerintahan Bani Abbasiyah dan mereka menjadi laksana sebuah negeri yang independen.
Pada masa pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah pada mulanya mencapai masa keemasannya. Periode-periode setelahnya pemerintahan dinasti mulai turun. Penulis akan membahas mengapa dinasti ini bisa turun sehingga muncul disintegrasi dan wilayah-wilayah yang melepaskan diri dari kekuasaan Bani Abbasiyah.

1.      Disintegrasi Bani Abbasiyah

Menurut Muhaimin (2005:227), “fase disintegrasi adalah fase dimana pertentangan intern umat Islam di kalangan pemerintahan, baik dimasa Bani Umayyah, maupun Abbasiyah, muncul dalam bentuk pemisahan diri dari pemerintah pusat dan memproklamirkan diri sebagai khalifah sendiri, di masa ini keutuhan umat Islam dalam bidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah menurun dan akhirnya Baghdad dapat dirampas dan dihancurkan oleh Hulagu pada tahun 1253.
Dalam periode pertama, sebenarnya banyak tantangan dan gangguan yang dihadapi dinasti Bani Abbasiyah. Beberapa gerakan politik yang merongrong pemerintah dan mengganggu stabilitas muncul dimana-mana, baik gerakan dari kalangan intern Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Namun, semuanya dapat diatasi dengan baik. Keberhasilan penguasa Abbasiyah mengatasi gejolak dalam negeri ini memantapkan posisi dan kedudukan mereka sebagai pemimpin yang tangguh. Kekuasaan betul-betul berada di tangan khalifah. Keadaan ini sangat berbeda dengan periode sesudahnya. Setelah periode pertama berlalu para khalifah sangat lemah. Mereka berada dibawah pengaruh kekuasaan yang lain (Yatim Badri. 2004:61).
Pada masa periode kedua dinasti Abbasiyah, terjadi dominasi orang-orang Turki.
”Dari tahun 247-334 H/861-945 M adalah masa dimana orang-orang militer Turki memegang kendali atas khalifah yang lemah. Merekalah yang memilih khalifah dan mereka pula yang memecatnya. Mereka membunuh para khalifah semau mereka sendiri. Adalah al-Mu’tashim yang mendatangkan orang-orang Turki karena tentara sudah berada di tangan mereka.” (Ahmad Al-‘Usairy. 2013:239).s
Pilihan Khalifah Al-Mu’tashim terhadap unsur Turki dalam ketentaraan terutama dilatarbelakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa Al-Ma’mun dan sebelumnya. Bahkan, perebutan kekuasaan antara Al-Amin dan Al-Ma’mun dilatarbelakangi oleh persaingan antara golongan Arab yang mendukung Al-Amin dan golongan persia yang mendukung Al-Mu’min.
“Masuknya Turki dalam persaingan antar bangsa dalam dinasti Abbasiyah menambah rumit situasi. Al-Mu’tashim dan sesudahnya, Al-Watsiq, mampu mengendalikan mereka. Namun, khalifah Al-Mutawakkil, yang merupakan awal kemunduran politik Bani Abbas, adalah orang yang lemah. Pada masa pemerintahannya, orang-orang Turki apat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat khalifah.” (Badri Yatim: 1993:62)
Sehingga otomatis kekuasaan Bani Abbasiyah hilang karena jatuh di tangan orang Turki meskipun khalifahnya berasal dari Bani Abbas. Pada awalnya banyak perwira Abbasiyah memberontak kepada Turki. Dari dua belas khalifah pada periode kedua ini, hanya empat yang wafat secara wajar, selebihnya, kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahta dengan paksa. Wibawa khalifah merosot tajam.
Karena wibawa yang merosot tajam, dan lemahnya tentara Turki dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat, yang kemudia memerdekaan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan dinasti-dinasti kecil.
Menurut Watt (Badri Yatim. 2006: 64-65), sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-peimpin yang memiliki kekuatan militer di provinsi-provinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen. Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah memperkejakan orang-orang profesionak di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem perbudakan baru sesuai yang diutarakan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam perkembangan selanjutnya ternyata, menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu’ubiyah (kebangsaan/anti Arab). Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, disamping persoalan keagamaan. Tampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga, meskipun dirasakan dalam hampir semua aspek kehidupan, seperti dalam kesusastraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak sungguh-sungguh menghapus fanatisme tersebut, bahkan ada diantara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Ketika konflik kebangsaan dan keagamaan memunculkan negeri-negeri independen berdasarkan bangsa, Bani Abbasiyah berusaha untuk menumpasnya.
“Pada Pemerintahan Bani Abbasiyah telah berusaha untuk menumpas mereka pada awalnya. Namun, kemudian membiarkannya. Jika kita teliti secara seksama, maka akan kita dapatkan bahwa negeri-negeri yang memisahkan diri pada satu itu hanyalah di kawasan sebelah Barat (Maghrib).” (Ahmad Al-‘Usairy. 2013:238)
Menurut Samsul Munir Amin (2009:153),“Kekuasaan dinasti dinasti ini tidak pernah diakui oleh Islam di wilayah Spanyol dan Afrika Utara, kecuali Mesir. Bahkan dalam kenyataannya, banyak wilayah tidak dikuasai khalifah. Secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur provinsi bersangkutan. Hubungannya dengan khalifah ditandai dengan pembayaran upeti.”
Ada kemungkinan para khalifah Bani Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari provinsi-provinsi  tertentu, dengan pembayaran upeti. Alasannya, pertama, mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya. Kedua, penguasa Bani Abbas lebih menitikberatkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Karena lebih menekankan pembinaan dan pengembangan kebudayaan, pada akhirnya provinsi-provinsi tersebut melepaskan diri dari kekuasaan Bani Abbasiyah yang sudah melemah setelah masa kepemimpinan khalifah Al-Mutawakkil. Terlebih wibawa khalifah merosot dengan campur tangannya militer Turki dalam pemilihan dan penggantian khalifah.
Dari beberapa latar belakang dinasti yang muncul akibat memisahkan diri dari dinasti Abbasiyah, tampak jelas adanya persaingan antar bangsa terutama antara Arab, Persia dan Turki. Disamping dilatarbelakangi oleh paham keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi’ah dan ada pula yang Sunni.

Penyebab lain disintegrasi
1.      Pemberontakan Zinj
Orang-orang Zinj merupak sekelompok budak asal Afrika. Menimbulkan rasa takut dan ancaman terhadap pemerintahan Abbasiyah selama empat belas tahun. Dipimpin seorang Persia bernama Ali bin Muhammad yang mengaku keturunan dari Ali Zainul Abidin ibnul-Husen.  Ia membebaskan banyak budak  dan membuat kota bernama al-Mukhatarah.
Dalam beberapa kali peperangan dia berhasil mengalahkan pasukan Abbasiyah. Menguasai beberapa kota di wilayah Bani Abbasiyah sehingga khalifah Al-Mu’tamid keluar dan memimpin langsung pasukannya. Al-Mukhatarah dikepung dan berhasil dihancurkan. Pemberontakan berakhir 270 H/883 M. Peperangan menelan korban hingga 2.500.000 menurut Ibnu Thaba Thaba al-Fajhri, dan 1.500.000 menurut Imam as-Suyuthi.

2.      Gerakan  Qaramithah (277-470 H/890-1077)
Sekte beraliran kebatinan. Menurut mereka tidak seorang pun yang mengetahui yang batin ini kecuali Imam dari anak keturunan Ali. Mazhab batiniah ini berakar pada pemikiran Persia yang sesat. Menyeru pada syiah Ismailiyah pada awalnya, namun kemudian menyerukan pada diri sendiri. Didirikan oleh Hamdan ibnul-Asy’ats yang bergelar Qarmath yang belajar kepada Husen al-Ahwazi.
Khalifah Bani Abbasiyah Al-Mu’tadhid berhasil mengalahkan mereka di Irak, Suriah dan terakhir di Bahrain. Namun tahun 317 H gerakan ini menyerang Mekah dan Madinah. Sulaiman ,pemimpin Qaramithah (kota Ihsa’), menyerang pada musim haji dan melakukan pembantaian, jasad korban pembantaian dimasukkan kedalam sumur Zamzam. Dan Hajar Aswad dibawa ke kota Ihsa’ selama dua puluh tahun.

3.      Dominasi negeri-negeri Syiah.
Masa ini memiliki ciri utama yakni dominasi kalangan Syiah terhadap kawasan yang dmikian luas, permerintahan Buwaihidis (Irak, Persia, Ray, Karj dan Ahwaz), Ubaidiyah/Fathi-miyah (Maghrib dan Mesir) dan pemerintahan Hamadaniyah (Mosul dan Syam), Qaramithah (Bahrain) dan Samaniyah (Asia Tengah).
4.      Perebutan Kekuasaan
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini terjadi bahkan sejak masa sebelumnya. Tapi yang terjadi pada masa Bani Abbas berbeda dengan sebelumnya.
Nabi Muhammad memang tidak menentukan cara pergantian pimpinan setelah ditinggalkannya. Dimulai dengan pemberontakan pada masa Ali bin Abi Thalib. Tujuan pemberontakan-pemberontakan ini adalah menjatuhkan ali sebagai khalifah. Berdirinya Bani Abbasiyah memang tidak terlepas dari pemberontakan terhadap Bani Umayyah di Damaskus.
Pada masa awal pemerintahan Bani Abbasiyah, perebutan kekuasaan sering terjadi. Namun pada masa periode kedua, para khalifah semakin tidak berdaya dalam menghadapi pemberontakan. Terlebih ketika tentara Turki berhasil merebut kekuasaan Bani Abbas, secara tidak langsung daulat Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih. Pada masa ini khalifah Abbasiyah tinggal namanya saja.
Kekuasaan ini tidak berlangsung lama, Bani Buwaih snediri hancur akibat perebutan kekuasaan akibat perebutan kekuasaan oleh ketiga anak pendiri Bani Buwaih (Izz Al-Daulah Bakhtiar dengan Adhad Al-Daulah). Dan kemudian terjadi pertentangan di dalam militer Bani Buwaih itu sendiri.
Kemudian Bani Buwaih digantikan oleh Seljuk dan sebagai tanda awal periode keempat khilafah Abbasiyah. Pemimpinnya yang pertama adalah Thugrul Bek. Dinasti Seljuk menggantikan posisi Bani Buwaih. Dalam hal agama, kembali dari ajaran Syiah ke Sunni.
Dalam kepemimpinan Seljuk ini, Abbasiyah mencapai puncaknya lagi. Dengan penguasaan wilayah yang luas kembali dan banyak negara yang pada awalnya memisahkan diri ditaklukan kembali. Terdapat peristiwa perang Manzikert sebagai titik awal perang salib dan awal dari Turkification (penyatuan Turki)
Namun, pada akhirnya dinasti Seljuk yang menguasai Bani Abbasiyah ini ditaklukan oleh Khawarim dari Persia. Jadi setidaknya ada empat penguasa (dinasti) yang menguasai Bani Abbasiyah. Yaitu Bani Abbasiyah itu sendiri, Bangsa Turki, bangsa Buwaih dan bangsa Seljuk.

2.      Wilayah-wilayah yang Melepaskan Diri dari Kekuasaan Bani Abbasiyah.
a.       Yang berbangsa Persia
1.      Thahiriyah di Khurasan (205-259 H/820-872 M)
            Al-Makmun mengangkat panglimanya al-Muzhaffar Thahir ibnul-Husain sebagai Gubernur Khurasan. Pemerintahan kemudian dilanjutkan oleh anak-anaknya dan memerintah secara mandiri dan menyatakan melepaskan diri dan melakukan pemberontakan terhadap khalifah.
2.      Shafariyah di Fars (254-290 H/868-901 M)
            Berdiri menggantikan Thahiriyah setelah Ya’qub ash-Shafar mengalahkan Thahiriyah. Pada pemerintahannya dia meluaskan wilayahnya. Dia melakukan penaklukan karena melihat merosotnya kekuatan bani Abbasiyah. Diserang oleh panglima Al-Muwaffiq dari khalifah Al-Mu’tamid. Setelah meninggal akibat sakit gangguan jiwa dia digantikan saudaranya. Namun usaha perluasan saudaranya mengalami kegagalan sehingga dikalahkan oleh Samaniyun.
3.      Samaniyah di Transoxania (261-3899 H/873-998 M)
            Berasal dari kaum syiah yang menisbatkan diri kepada seorang Persia bernama Saman yang sebelum muslim beragama Majusi. Digantikan oleh anaknya. Anak-anaknya menjadi pemimpin terkemuka pada masa pemerintahan al-Makmun.
            Nashr yang menggantikan ayahnya, Ahmad, diangkat oleh Khalifah Al-Mu’tamid. Dia menjadikan Samarkand sebagai ibukota dan memberikan Bukhara kepada Ismail saudaranya. Nashr digantikan oleh Ismail.
            Pada masa Ismail inilah Samaniyah mencapai puncaknya. Mengalahkan Shafariyah dan menjatuhkan Zaidiyah. Pada akhir masanya, diperebutkan oleh Ghaznawi, Turki dan Khaqoniyah.
4.      Sajiyyah di Azerbaijan (351-585 H/962-1189 M)
5.      Buwaihiyyah (230-447 H/932-1055 M)
            Pemerintahan Buwaihiyyah didirikan oleh Buwaih bin Syuja’. Anak-anaknya menjadi panglima Makan bin Kali.  Anaknya Ali, memerangi Mardawij. Sehingga Buwaih memiliki kekuasaan cukup luas. Mereka meminta pengakuan kepada Khalifah Bani Abbas. Kemudian mereka memiliki pengaruh besar terhadap khalifah Bani Abbas. Mereka yang mengangkat dan memberhentikan khalifah.
            Anak-anak dari Buwaih bin Syuja’terkenal. Sehingga ketika Buwaih bin Syuja’ meninggal mereka saling bertikai memperebutkan kekuasaan. Pemimpin terakhir Buwaihiyyah adalah al-Malik ar-Rahim. Dia diserang oleh Seljuk dan kemudian berakhirlah Buwaihiyyah.
b.      Yang berbangsa Turki
1.       Thuluniyah di Mesir (254-292 H/837-903 M)
            Pada awalnya pemerintahan khalifah Abbas mengangkat seorang Gubernur asal Turki untuk Mesir. Dengan kuasa Gubernur dia mengangkat Ahmad bin Thulun seorang budak menjadi kepala pengawal Khalifah al-Makmun.
            Ahmad Thulun ini memisahkan diri di Mesir dan membangun pasukan besar. Sehingga berhasil merebut beberapa wilayah Romawi di Utara. Digantikan oleh anaknya Khumariyah yang sering bertikai dengan khalifah Abbas Al-Mu’tamid. Diadakan kesepakatan damai dan Al-Mu’tamid meniikah dengan putri Khumariyah. Sepeninggal Khamuriyah, terjadi anarkisme dan pemerintahan ini runtuh.
2.      Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H/932-1163 M)
3.      Ghaznawiyah di Afghanistan (351-585 H/962-1189 M)
            Alibtakin adalah mantan seorang budak yang kemudian menjadi penguasa kota Herat dan Ghaznah. Dia mendirikan pemerintahan yang wilayahnya meliputi Khurasan dan India. Digantikan oleh anaknya Mahmud al-Ghaznawi (Ismail). Pemimpin terbesar dari Ghaznawiyah. Terkenal sebagai penguasa yang adil dan sangat cinta dan menghormati ilmu pengetahuan. Ketika wafat, terjadi perebutan kekuasaan antara anaknya Mas’ud dan Muhammad. Dimana yang berhak mewarisi tahta adalah Muhammad. Dihancurkan oleh Seljuk.
4.      Seljuk
            Berasal dari Turki dan menisbatkan diri dari Saljuk bin Taqaq. Orang-orang Samaniyun meminta bantuannya dalam memerangi Kaum Kafir Turki. Dia mengirimkan anaknya Arselan dan Mikail bin Arselan. Mikail digantikan anaknya yang bernama Tughril Beik dan Daud Beik. Tughril Beik berhasil mengatasi gerakan Albasasiri atas permintaan khalifah Al-Qaim. Wilayah Seljuk dibagi menjadi lima wilayah. Di pemerintahan Alib Arselan, terjadi perang Maladzkird. Keruntuhannya terjadi akibat perang salib dan pemberontakan Hasyasyin.
c.       Yang berbangsa Kurdi
1.      Al-Barzuqani (348-406 H/959-1015 M)
2.      Abu Ali (380-489 H/990-1095 M)
3.      Ayubiyah (564-648 H/1167-1250 M)
            Berasal dari keturuna Kurdi dan Azerbaijan. Pendirinya adalah Shalahuddin Yusuf bin Ayyub. Ayahnya, Najmuddin Ayyub merupakan Gubernur Tikrit. Najmuddin dan saudaranya Asaduddin menjadi panglima Nuruddin Mahmud Zinki. 
            Asaduddin digantikan oleh keponakannya Salahuddin. Dia menjadi menteri untuk khalifah al-‘Adhid yang menganut Syiah dan wakil dari Nuruddin Mahmud yang beraliran Sunni. Kemudian melepaskan diri dan menguasai Mesir setelah Nuruddin meninggal. Dia mengambil Damaskus dan sebagian besar Syam.
Dia berhasil menyatukan Islam yang sebelumnya terpecah. Dia berhasil mengalahkan pasukan salib dalam perang Hiththin. Dan merebut Baitul Maqdis. Akhir pemerintahan Ayyubiyah adalah munculnya Mamluk.
d.      Yang berbangsa Arab
1.      Idrisiyah di Maroko (172-375 H/788-985 M)
            Setelah pemerintahan Bani Abbasiyah menghancurkan kaum Alawiyin dalam perang Fakh tahun 169 H/785 M, Idris bin Abdullah ibnul-Hasan bin Ali bin Abu Thalib dengan bantuan kaum Barbar melarikan diri dan mendirikan pemerintahannya di Marakisy. Dia membangun kota Fas. Kemudian Idrisiyah (Adarisah) ini dihancurlkan oleh Fathimiyah.
2.      Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M)
            Harun ar-Rasyid mengangkat Ibrahim ibnul-Aghlab menjadi gubernur Afrika karena rasa khawatirnya akan orang Barbar dan (Idrisiyah) Adarisah. Kemudian melepaskan diri dari bani Abbasiyah dan dibiarkan. Pemerintahan Adarisah ini dihancurkan oleh Ubaidiyah.
3.      Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H/825-898 M)
4.      Alawiyah di Tabaristan (250-316 H/864-928 M)
5.      Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H/929-1002 M)
            Menisbatkan iri kepada Hamdan bin Hamdun dari kabilah Arab Taghlib. Anaknya bernama al-Husein bin Hamdan Bahrawaih diangkat oleh khalifah al-Muqtadir sebagai penguasan Maushil (Mushol). Pernah dikuasai oleh Buwaih (Mu’izzud Dawlah al-Buwaih). Pernah dikuasai oleh Kurdi dan akhirnya runtuh karena diserang oleh Fathimiyah.
6.      Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H/1011-1150 M)
7.      Ukailiyah di Maushil (386-489 H/996-1095 M)
8.      Mirdasiyyah di Aleppo (414-472 H/1023-1079 M)
e.       Yang mengaku dirinya sebagai Khilafah
1.      Umayyah di Spanyol
            Didirikan oleh Abdur Rahman ad-Dakhil bin Muawiyah bin Hisyam bin Abdul Malik al-Umawi. Melarikan diri dari melarikan diri dari kejaran Bani Abbasiyah setelah runtuhnya Bani Umayyah di Damaskus. Memenangkan pertempuran dengan Yusuf di Cordoba dikenal dengan perang Masharah. Karena keberhasilannya, dia berpikir untuk mengambil Syam dari Bani Abbasiyah. Namun tidak berhasil. Pada masa pemerintahan Abdur Rahman al-Nashir ш, dia berhasil menaklukan kerajaan-kerajaan Kristen dan berhasil mencapai kemenangan yang besar.
            Abdur Rahman beberapa kali memimpin serangan langsung dalam menghadapi orang-orangh Kristen. Dia kalah dalam dalam perang parit tahun 308 H/920 M. Pada masanya, Andalusia berada pada puncak kejayaannya.
2.      Fathimiyah di Mesir
            Berasal dari golongan Syiah Rafidhah yang mengaku keturunan Fathimah az-Zahra. Ada yang meyakini mereka berasal dari golongan yang menisbatkan dirinya kepada Ismail bin Ja’far ash-Shadiq oleh karenanya sering disebut Ismailiyah.
            Pendiri pemerintahan adalah Ubaidilag bin Muhammad al-Mahdi, dan kepadanya pemerintahan ini dinisbatkan. Ubaidilah berhasil mengatasi beberapa pemberontakan dan berhasil memperluaskan wilayahnya hingga Maghrib.dia berhasil menjatuhkan pemerintahan Aghalibah dan membuat pemimpin Sajalmasah melarikan diri. Keluarga dari Rustum dan Adarisah juga berhasil dihancurkan. Wilayah Afrika Utara menjadi kekuasaannya dan Qayrawan sebagai pusat pemerintahan.
            Tahun 358 H/968 M, panglima Ubaidilah berhasil melakukan perbaikan di Mesir dan mendirikan Universitas Al-Azhar di Kairo. Setelah itu Khalifah Fathimi al-Mu’iz Lidinillah memindahkan ibu kota ke Kairo. Pemerintahan Fathimi kemudian ditaklukan oleh Salahuddin Al Ayyubi.
Penutup
Kesimpulan
1.      Penyebab disintegrasi dinasti Bani Abbasiyah
a.       Menurut W. Montgomerry Watt dalam Samsul Munir Amin (2009:155) kemunduran Bani Abbasiyah terjadi karena:
1.      Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksanan pemerintahan sangat randah
2.      Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3.      Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
b.      Menurut Badri Yatim kemunduran Bani Abbasiyah terjadi karena:
1.      Persaingan antar bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah Dinasti Abbasiyah berdiri, Bani Abbasiyah tetap mempertahankan persekutuan itu. Pada masa ini persaingan antarbangsa menjadi pemicu untuk saling berkuasa. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri.
2.      Kemerosotan ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar daripada yang keluar, sehingga baitul mal penuh dengan harta. Setelah khilafah mengalami periode kemunduran, pendapatn negara menurun dan dengan demikian terjadi kemerosotan dalam bidang ekonomi.
3.      Konflik keagamaan.
Fanatisme keagamaan terkait erat dengan persoalan kebangsaan. Pada periode Abbasiyah, konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentral sehingga mengakibatkan perpecahan. Berbagai aliran seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlus Sunnah, dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.

Penyebab khusus yang lebih kasuistik menurut Fadil (2008: 219), “(1) secara geografis, jarak antara pemerintah pusat dengan wilayah yang sangat jauh; (2) Secara politis, para gubernur (wali) menghendaki otonomi kekuasaan; (3) Secara Ideologis, terdapat pertentangan faham antara Baghdad yang Sunni dengan beberapa wilayah yang Syiah.”
Pada dasarnya disintegrasi pada masa Bani Abbasiyah terjadi karena kemerosotan khalifah dalam bidang politik dan ekonomi. Para khalifah ini kemudian berpindah kekuasaannya dari Abbasiyah menuju Tentara Turki (Buwaih) karena ketidakcakapan dalam militer. Sehingga pengaruh Buwaih terasa dalam pemilihan Khalifah.
Wilayah-wilayah yang tidak mendapat perhatian khusus di bidang agama, bangsanya kemudian melepaskan diri dari kekuasaan Bani Abbasiyah karena mengetahui kemerosotan politik dari Abbasiyah itu sendiri.
Ketika wibawa dari khalifah sudah mulai turun, pemimpin-pemimpin militernya melepaskan diri dari Baghdad, mereka bukan saja menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa di antaranya bahkan berusah menguasai khalifah itu sendiri.

2.      Wilayah-wilayah yang melepaskan diri dari Bani Abbasiyah.
a.       Yang berbangsa Persia
1.      Thahiriyah di Khurasan (205-259 H/820-872 M)
2.      Shafariyah di Fars (254-290 H/868-901 M)
3.      Samaniyah di Transoxania (261-3899 H/873-998 M)
4.      Sajiyyah di Azerbaijan (351-585 H/962-1189 M)
5.      Buwaihiyyah (230-447 H/932-1055 M)
b.      Yang berbangsa Turki
1.       Thuluniyah di Mesir (254-292 H/837-903 M)
2.      Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H/932-1163 M)
3.      Ghaznawiyah di Afghanistan (351-585 H/962-1189 M)
4.      Seljuk
c.       Yang berbangsa Kurdi
1.      Al-Barzuqani (348-406 H/959-1015 M)
2.      Abu Ali (380-489 H/990-1095 M)
3.      Ayyubiyah (564-648 H/1167-1250 M)
d.      Yang berbangsa Arab
1.      Idrisiyah di Maroko (172-375 H/788-985 M)
2.      Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M)
3.      Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H/825-898 M)
4.      Alawiyah di Tabaristan (250-316 H/864-928 M)
5.      Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H/929-1002 M)
6.      Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H/1011-1150 M)
7.      Ukailiyah di Maushil (386-489 H/996-1095 M)
8.      Mirdasiyyah di Aleppo (414-472 H/1023-1079 M)
e.       Yang mengaku Khalifah
1.      Umayyah di Andalusia
2.      Fathimiyah di Mesir





DAFTAR RUJUKAN
            Ahmad Al-‘Usairy. 2013. Sejarah Islam (Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX). Jakarta: Akbar Media.
            Badri Yatim. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
            Fadil SJ. 2008. Pasang Surut Peradabn Islam Dalam Lintasan Sejarah. Malang: UIN Malang-Press
            Muhaimin. 2005. Kawasan Dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Prenada Media.
            Samsul Munir Amin. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: AMZAH.

2 komentar:

  1. http://semuaceritavipdomino.blogspot.com/2017/11/iphone-x-versi-murah-meluncur-tahun.html
    http://semuaceritavipdomino.blogspot.com/2017/11/ini-dua-nama-kandidat-ketum-golkar-bila.html
    http://semuaceritavipdomino.blogspot.com/2017/11/saham-amazon-naik-kekayaan-jeff-bezos.html


    Tunggu Apa Lagi Guyss..
    Let's Join With Us At Dominovip.com ^^
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami :
    - BBM : D8809B07 / 2B8EC0D2
    - Skype : Vip_Domino
    - WHATSAPP : +62813-2938-6562
    - LINE : DOMINO1945.COM
    - No Hp : +855-8173-4523

    BalasHapus
  2. Sangat membantu😁
    Trmksih

    BalasHapus