STRUKTUR
BIROKRASI
Pajajaran adalah sebuah
pusat kerajaan, hampir semua bukti yang ada menunjuk Pajajaran sebagai pusat kerajaan, lengkapnya
Pakwan Pajajaran (prasasti Kebantenan dan Batutulis). Yang menyebut Pajajaran
sebagai nama kerajaan hanyalah carita pantun yang bernilai sastra.
Sumber-sumber asing
juga tidak pernah menyebut adanya kerajaan Pajajaran. Tome Pires menyebutkan
ada sebuah Negara Cumda (Sunda) dengan ibu kotanya bernama Dayo (Dayeuh). Dalam
bukunya Da Asia, Barros, menyebut bahwa daerah Sunda terbentang antara ujung
Jawa Barat sampai dengan sungai Cimanuk. Barbosa mengatakan bahwa Qumda (Sunda)
adalah suatu tempat yang kecil saja di mana banyak terdapat lada.
Dari berita Cina,
Cheng-ho, mengunjungi Negara di sebelah selatan Cina dan salah satu yang pernah
dikunjunginya bernama Sun-la,
kemungkinan besar Sun-la adalah
pelafalan Cina untuk Sunda.
Dari dalam negeri,
dalam Carita Parahyangan menyebutkan
adanya seorang Tohaan di Sunda (Yang Dipertuan di Sunda) sebagai mertua Rahyang
Sanjaya. Dalam Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian menyebutkan “… kita
pergi ke Jawa, tidak bisa mengikuti bahasa mereka, demikian juga adatnya,
canggunglah perasaan kita. Setelah kembali lagi ke Sunda tidak dapat berbicara
bahasa Jawa, seperti yang bukan pulang dari rantau…”
Kitab Pararaton juga
menyebutkan Sunda sebagai daerah ,” … lalu terjadilah peristiwa Sunda-Bubat.
Bhre Prabhu menginginkan putri dari Sunda. Patih Madu diutus untuk mengundang
orang Sunda. (karena) baiklah seandainya orang Sunda dijadikan besan…”. Bahkan,
ada sebuah naskah lain yang menggunakan Sunda sebagai namanya, yaitu Kidung
Sundayana.
Selain bukti-bukti
tersebut, beberapa bukti prasasti menyebut nama Sunda sebagai sebuah nama
kerajaan yaitu Prahajyan Sunda. Isinya yaitu, Sri Jayabhupati menyebut dirinya
sebagai haji ri sunda (raja dari
Sunda). Ada sebuah prasasti lagi yang diketemukan di Kediri Selatan (Horren)
yang menyebut tentang adanya penyerangan dari Sunda.
Tome Pires menyebutkan,
kerajaan Sunda dipimpin oleh seorang raja. Selain raja pusat, didaerah-daerah
tertentu dijumpai raja yang berkuasa didaerah masing-masing. Hak waris takhta
diturunkan kepada anaknya, tetapi jika raja tidak punya anak, yang
menggantikannya adalah raja daerah yang memiliki kekuasaan terbesar.
Kerajaan Sunda memiliki
enam pelabuhan yang penting (Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Kalapa, dan
Cimanuk) dan masing-masing pelabuhan dipimpin oleh syahbandar atau nakhoda.
Tugas nakhoda adalah bertanggung jawab kepada raja dan bertindak sesuai wakil
raja di bandar-bandar yang mereka
kuasai.
Sanghyang Siksakanda ng
Karesian memberikan penjelasan lebih. “
…
nihan sinangguh dasa prebakti ngaranya. Anak bakti di bapa, ewe bakti di laki,
hulun bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wong tani bakti di wado, wado
bakti di mantra, mantra bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di
mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di
hyang…” . inilah peringatan yang disebut sepuluh kebhaktian
: anak bakti kepada bapa, istri bakti kepada suami, rakyat bakti kepada
majikan, murid bakti kepada guru, petani bakti kepada wado, wado bakti kepada
mantri, mantri bakti kepada nu nangganan, nu nangganan bakti kepada mangkubumi,
mangkubumi bakti kepada raja, raja bakti kepada dewata, dewata bakti kepada hyang.
Dari
Siksakanda ng Karesian, bisa dikatakan seperti ini. Dalam pelaksanaan tugas
harian raja dibantu oleh mangkubumi yang membawahi beberapa nu nangganan. Raja
digantikan oleh anaknya, akan tetapi apabila raja tidak memiliki anak, raja daerah bisa menggantikan
kedudukan raja yang bertakhta di pakwan Pajajaran. Untuk mengurusi masalah yang
berhubungan langsung dengan perdagangan, raja menunjuk seorang syahbandar
sebagai pengawas dipelabuhan.
Menurut
Tome Pires, ibu kota Sunda yang berada di Dayo itu berjarak dua hari dari
bandar Kalapa. Kotanya besar dengan penduduk sekitar 50.000 jiwa. Rumah dikota
sangat baik terbuat dari kayu dengan atap terbuat dari daun palem. Raja tinggal
diistana yang memiliki 330 buah tiang kayu yang masing-masing sebesar peti
anggur. Sedangkan tingginya 5 fathom atau kira-kira 9 ,14 meter (1 fathom =
1,828 meter).
Winkler,
pada tahun 1960 berkunjung ke kota Dayo. Ia mengatakan bahwa ibu kota Pakwan
Pajajaran terletak diantara 2 buah sungai besar yang sejajar. Jadi pada abad XVII
M, Pakwan juga dikenal sebagai ibu kota kerajaan atau pusat kerajaan, dan bukan
nama kerajaan itu sendiri. Hal ini ditunjang oleh beberapa prasasti.
Prasasti
Batutulis, menyebutkan bahwa Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di pakwan Pajajaran
Sri Sang Ratu Dewata, ia itulah yang memariti Pakwan. Prasasti Kebantenan Ц dan
Ш berisi tentang “… selamat mudah- mudahan tidak ada rintangan. Demikianlah
sakakala (tanda peringatan) Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang
Ningrat Kancana, pendahulu Yang Dipertuan yang sekarang (berada) di Pakwan
Pajajaran.
Prasasti
Kebantenan I/IV “… maafkanlah, ini amanat dari Sri Baduga Maharaja, Ratu Haji
di Pakwan, Sri Sang Ratu Dewata”. Selanjutnya pada prasasti Kebantenan V “… ini
adalah amanat bagi mereka yang menghadap di Pajajaran”.
Prasasti
lain yang menyebut Pakwan adalah prasasti Huludayeuh yang juga dikeluarkan oleh
raja Surawisesa. “…Ratu Purana (Sri Baduga) Sri Maharaja Ratu Haji di Pakwan.
Ia sang Dewata.”.
Dan
cerita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan juga bertalian dengan Pakwan
Pajajaran.
Dari
kutipan diatas, jelaslah bahwa Pakwan Pajajaran adalah sebuah ibu kota kerajaan
dan bukan nama kerajaan itu sendiri. Meskipun, banyak kerajaan yang menggunakan
nama ibu kotanya sebagai nama kerajaan.
Arti
Pakwan Pajajaran. Pendapat pertama yaitu pakwan
= paku(tumbuhan paku) dan pajajaran =
berjajar. Sehingga Pakwan Pajajaran adalah tempat dimana banyak tumbuhan paku
berjajar. Pendapat kedua yang mencoba menghubungkan Pakwan dengan Pakuwan dan Kuwu yang terdapat dalam kitab Negarakertagama. Pendapat ketiga
adalah kata paku dihubungkan dengan lingga
kerajaan, paku dalam pengertian lingga adalah pusat atau poros kerajaan.
Pakwan
Pajajaran didirikan oleh Prabu Tarusbawa yang disesuaikan dengan tokoh Tohaan dalam
Carita Parahyangan. Ia juga dianggap
sebagi pendiri keraton Pakwan Pajajaran yang bernama Sri Bima Punta Narayana
Madura Suradipati. Dan nama keraton kerajaan Kawali adalah Surawisesa, dan
unsur sura merupakan keraton induk.
Oleh
karena itu, keraton Pakwan Pajajaran dianggap sebagai Panca Persada ( lima buah
bangunan ). Suradipati sebagai pusatnya. Kelima keraton inilah yang disebut
dalam Carita Parahyangan. Kelima
keraton ini disebut sebagai persemayaman Sanghyang Sri Ratu Dewata atau yang
disebut Sri Baduga Maharaja (Batutulis).
Galih Yoga Wahyu Kuncoro
130731615690
Referensi :
R. P. Soejono. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Ц.
Jakarta: PT Balai Pustaka
.2007. Sejarah Nasional Indonesia Ц. Jakarta: PT Balai Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar