Pencarian

Selasa, 03 Desember 2013

KERAJAAN SUNDA KUNO


  A.          PUSAT – PUSAT KERAJAAN SUNDA

        1.          KERAJAAN YANG BERPUSAT DI GALUH
            Galuh berkali-kali disebut dalam Cerita Parahyangan. Dimulai dari awal Carita Parahyangan yang menyebutkan nama Sanjaya yang disebut dalam prasasti Canggal (732 M) yang berasal dari halaman percandian Gunung Wukir, Kecamatan Salam, Magelang. Dalam prasasti ini Sanjaya dikatakan telah menggantikan raja sebelumnya yang bernama Sanna. Ia mempunyai hubungan darah dengan Sanna karena ia adalah anak Sannaha, saudara Sanna.
            Carita Parahyangan menghubungkan Sanjaya dengan pusat kerajaan Galuh, karena disitu Sena berkuasa di Galuh. Pada suatu waktu terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan Rahyang Purbarosa, saudara seibu raja Sena. Sena dibuang ke Gunung Merapi (bukit Merapi di Kuningan, Jawa Barat) bersama keluarganya, setelah dewasa Sanjaya mencari perlindungan kepada saudara tua ayahnya yang berdiam di Denuh. Akhirnya, Sanjaya berhasil mengalahkan Rahyang Purbarosa, sehingga berhasil mengangkat dirinya menjadi raja.
            Selain pusat kerajaan Galuh yang diperintah Sena di Jawa Barat terdapat kerajaan lain. Misalnya kerajaan Kuningan yang diperintah oleh Sang Seuweukarma, dan kerajaan Sunda yang disegani oleh Sanjaya. Sanjaya adalah menantu kerajaan Sunda yang bergelar Tohaan (Yang Dipertuan) di Sunda yaitu Tarusbawa.
            Berdasarkan berita-berita yang diperoleh, dapat diduga agama yang dianut Sanjaya adalah Hindu yang bermazhab Siwa. Dinyatakan dalam prasasti Canggal yang memuja dewa Siwa lebih banyak dibandingkan Trimurti yang lain. Sifat agama ini tidak bertentangan dengan cerita Parahyangan yang menyebutkan bahwa pemujaan yang umum dilakukan oleh raja Galuh adalah sewabakti ring batara upati. Upati  diduga merupakan rusakan dari bahasa Sanskerta utpati atau utpata, yaitu nama lain dari Yama, dewa pencabut nyawa (Menurut dongeng Bali, Yama memiliki sifat yang sama dengan Siwa maupun Kala, dan pemujaan untuk dewa tersebut tidak jauh berbeda).
            Perkembangan agama Buddha juga diketahui. Disini berkaitan dengan cerita Parahyangan yang mengatakan bahwa Sanjaya memberi nasehat kepada Rahyang Tamperan, anaknya : … haywa dek nurutan agama aing, aing mretakuna urang reya…,janganlah mengikuti agamaku, karena dengan itu aku ditakuti orang banyak.
            Dalam Carita Parahyangan, dijelaskan bahwa Sanjaya pergi berperang ke daerah lain agar wilayahnya luas dan daerah lain tunduk kepadanya. Daerah atau raja kecil yang berhasil dikalahkannya antara lain Mananggul, Kahuripan, Kadul, Balitar, Malayu, Kemir, Barus, dan Cina. Sehabis memerangi daerah-daerah tersebut, Sanjaya kembali ke Galuh.
            Pada waktu bersamaan, di Saunggalah(Kuningan) diperintah oleh Sang Seuweukarna yang masih saudara Sanjaya. Dalam cerita Parahyangan, Sang Seuweukarma ini juga menaklukan daerah yang diakui telah ditaklukan oleh Sanjaya sendiri.
            Keadaan ini tidak memuaskan Sanjaya, sehingga ia mengirim utusan ke Saunggalah. Kedua raja ini akhirnya berdamai dan tidak sampai mengakibatkan pertikaian diantara keduanya.
    1.            Pusat Kerajaan Prahajyan Sunda
Nama sunda kemudian muncul lagi pada rasasti yang berasal dari tahun 952 saka atau 1030 masehi. Prasasti ini ditemukan dikampung Pangcalikan dan Bantaarmuncang, di tepi sungai Citcatih,daerah Ciladak, Sukabumi.prasasti Sanghyan Tapak ini berasal dari jawa kuno dan berhuruf jawa kuno.  Nama tokoh yang disebut pada prasati ini ialah Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabhuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramotunggadewa, sedangkan daerah kuasanya disebut Prahajyan Sunda. Selain bahasa dan tahunya , prasasti ini sangat menarik, karena gelar digunakan Jayabhupati sangat mirip dengan gelar Airlangga di jawa timur. Karena gelar yang mirip itu da yang beranggapan bahwa Sri Jayabhupati adalah seorang bawahan raja airlangga dan sebaliknya. Sementara itu ada pula yang beranggapan bahwa gelar yang sama itu tidak ada sangkut pautnya dengan keadaan politi di anatara kedua wilayah itu.
Jika mengingat pada masa itu Airlangga masih sibuk berusaha untuk menyatukan daerah-daerah yang terdekat, barangkali kemungkinan terakhir itulah yang paling dapat diterima. Akan tetapi berdasarkan bahasa dan isinya prasasti itu di akui ada hubunganya antara Jawa Barat dengan Jwa Timur. Pernyataan Sri Jayabhupati berulangkali nahwa ia adalah raja dari sunda.,dapat dianggap ia menyakinkan kedudukanya sebagai raja sunda. Hal itu sama sekali tidak terdapat pada prasasti-prasasti berbahasa sunda , sama halnya dengan kutukan-kutukanya. Prasasti berbahasa sunda pada umumya tidak memuat kutukan yang sedemikian mengerikan, tetapi berisi tentang harapan mereka agar melakukan pada apa yang di anjurkan pada prasati,memperoleh kebahagiaan, dan yang  melanggar akan celaka.
Prasasti itu menyebutkan bahwa pada tahun 1030 M Jayabhupati membuat tepek disebelah timur Sanghyan Tapak. Daerah larangan itu berupa sebagian dari sungai yang kemudian ditutup untuk segala macam penangkapan ikan. Daerah larangan itu juga ditetepkan batas-batasnya, berbataskan Sanghyan Tapak tempat pemujaan di hulu, di hilir berbataskan Sanghyan Tapak tempat pemujaan terdapat dua buah batu besar.
Prasasti itu menyebutkan adanya pemujaan  terhadap telapak kaki. Pemujan itu bukan suatu hal yang aneh di Indonesia. Masyarakat yang sederhana , lambamng telapak kak ini (manusia maupun hewan) memiliki ciri yang istimewa, untuk menggambarkan kehadiranya di dunia ini dan juga di anggap mempunyai rahasia. Tapak kaki yang di maksud dalam prsasti itu adalah teapak kaki yang terpahat pada batu di puncak Gunung Perbakti, Cicurung, Sukabumi. Jia dihubungkan dengan daerah larangan itu, besar sekali kemungkinan dugaan terlalu dicari-cari. Selanjutnya dikatakan juga jika melanggar larangan tersebut akan terkena sumpah, sumpahnya antara lain ialah : terbelah kepalanya, terminum darahnya, terpotong-potong ususnya, terisap otaknya, dan terbelah dadanya. Dan sumpah itu berlaku sepanjang masa dan tanpa disadari pengaruh itu masih dipercaya hingga sekarang.
Dari gelarnya yang panjang dapat pula diketahui bahwa Sri jayabhupati adalah seorang penganut beragama hindu dari mazab Waisnawa. Walaupun prasasti Sanghyan Tapak menyebutkan nama daerah yang dikuasai oleh Jayabhupat, dan prasasti tersebut ditemukan disekitar sungai Cicatih, ini bukan berarti pusat kerajaan sunda berada disitu. Berdasarkan perhitungan tahun-tahun lamanya pemerintahan seorang raja sebagaimana disebutkan dalam Cerita Paharyangan, akan terdapat masa keocokan masa pemerintahan Sri Jayabhupati dengan tokoh Sang Rekeayan Darmasiksa. Tokoh ini dikaitkan dengan titisan Batara Wisnu. Sri Jayabhupati juga, berdasarkan prasastinya dapat dipastikan beragama waisnawa, sehinga sudah terdapat ciri-ciri kesaan terhadap dua tokoh ini. Kemudian Cerita Paharyangan juga menyebutkan bahwa Rekeyan Darmasiksa telah membuat beberapa buah daerah larangan , sedangakan sebagaimana yang telah diketahui, Jyabhupati juga telah menojolkan peresmian daerah larangan. Rekeyan Darmasiksa dapat lema memerintah karena ia memperoleh berkah dari para pendeta yang berpegang teguh kepada milik asali sunda, yaitu Sanghyan Darma dan Sanghyan Siksa.
Dapat ditetapkan pula jika Sri Jyabhupati ditetapkan dalam suatu rangkaian kisah sejarah Sunda sebagai satu kesatuan. Selanjutnya, jika dugaan bahwa Rekeyan Darmasiksa pada cerita Paharyangan sama dengan tokoh Sri Jayabhupati pada prasasti SanghyanTapak, dapat diduga bahwa pusat kerajaan sunda ada masa pemerintahan Jyabhupati terletak di  Pakwan Pajajaran.tidak lama kemudian pusat kerajaan itu berpindah lagi, dan kali ini daerah Kawali terpilih sebagai pusatkerajaan, telatnya tidak jauh dari kerajaan Galuh pada masa Snjaya.
Ditemukan prasasti Horren, prasasti ini menyebutkan bahwa penduduk kampung Horren sering kali merasa tidak aman karena da kemungkinn datang musuh dari Sunda. Menurut Stutterheim, [prasasti ini berasal dari zaman Majapahit. Dan jika memang benar pastilah prasasti ini berasal dari zaman sesudah terjadinya peristiwa Bubat (1357 M). Akan tetapi  jika bahasa di perhatikan, bahasanya lebih dekat dengan zaman Airlangga (abad XI M), sehingga besar kemungkinan jika prasasti iyu memang berasal dari abad XI M. Sementra pada wakyu itu Airlangga sendiri masih sibuk memerangi raja-raja daerah sekelilingnya yang pada umunya terletak di Jawa Timur. Memang cukup berhaya jika tiba-tiba datang serangan dari daerah yang lebih jauh letaknya sehingga didalam usaha Airlangga menyatukan dan memperluas wilayah kerajaanya, daerah sunda tidak diperhitungkan.
Setelah beberapa lamanya tidak terdengar adanya sengketa dengan negara-negara tetangga, pada tahun 1357M terjadi lagi sengketa yang sekali ini berakhir pada satu peristiwa penting. Terbukti dalam rekaman dari beberapa naskah, yaitu : naskah pararaton kidung sundayana, dan cerita paharyangan yang menyebutkan terjadinya peristiwa penting tersebut.
Peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit itu melibatkan raja Sunda yang bernama Prebu Maharaja, yang memusatkan pemerintahan di daerah Kawali. Jika naskah nagarakratagama yang di tulis oleh Pu Prapanca pada tahun 1356 M tidak memberitakan apapun tentang peristiwa itu, haruskah ini di tinjau oleh kedudukan penyair waktu menuliskanya. Jadi jika prapanca tidak menyinggung sedikitpun juga peristiwa Bubat itu bukanlah karena ketidaktahuan, melainkan justru ia tidak mau menuliskanya.
      1.            KERAJAAN KAWALI
Menurut prasasti Astanagede dapat diketahui bahwa pada masa pemerintahan Prabu Raja Wastu pusat kerajaan telah berpindah dari Pakwan Pajajaran ke Kawali. Prabu Raja Wastu yang bertakhta di kota Kawali dengan keratonnya bernama Surawisesa telah membuat parit di sekeliling keraton dan mendirikan desa-desa dan meresmikannya,serta mengharapkan agar mereka yang datang kemudian berbuat kebajikan, sehingga dengan demikian dapat hidup lama dan berbahagia di dunia.
Prabu Raja Wastu pada prasastu Kawali adalah tokoh yang sama dengan yang disebut dengan sebagai Rahyang Niskala Wastu Kancana pada prasasti batutulis dan kebantenan yaitu kakek Sri Beduga Maharaja. Hal ini memberikan kemungkinan bahwa setelah Prabu Wastu meninggal ia kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Rahyang Ningrat Kancana pada prasasti kebantenan atau Rahyang Dewa Niskala pada prasasti Batutulis.
Menurut prasasti batutulis, Rahyang Niskala Wastu Kancana dimakamkan di Nusalarang, sedangkan Rahyang Dewa Niskala di Gunatiga. Di dalam cerita Carita Parahyangan , tokoh Dewa Niskala atau Ningrat Kancana dikatakan sebagai Tohaan di Galuh (=yang dipertuan di Galuh). Sehingga dapat disimpulkan bahwa sampai pada masa pemerintahannya, pusat kerajan Sunda masih terletak di Galuh, tepatnya di sekitar kota Kawali sekarang.
Menurut Pararaton, pada tahun 1357 Masehi terjadi pristiwa yang dikenal sebagai Pasundan Bubat, suatu pertikaian politik antara kerajan Majapahit dan Sunda. Peristiwa ini juga dikenal dalam Carita Parahyangan yang menyebutkan: (punya anak, Prebu Maharaja, lamanya menjadi raja tujuh tahun, lantaran terkena bencana, terbawa celaka oleh anaknya yang bernama Tohaan, meminta terlalu berat syaratnya. Bermula banyak orang yang pergi ke Jawa, karena tidak mau bersuami di Sunda. Terjadilah perang di Majapahit).
Dari Carita Parahyangan itu jelas bahwa yang memerintah ketika itu adalah Prebu Maharaja, dikatakan ia berkuasa selama tujuh tahun , diperkirakan ia mulai menjadi raja pada tahun 1350 M, pada tahun yang sama dengan naik takhtanya Hayam Wuruk di Majpahit. Carita Parahyangan memberitakan bahwa bahwa sang raja masih mempunyai anak yang terkenal, bernama Niskala Wastu Kancana. Yang disebut dengan nama yang berbeda pada prasasti kawali, kebantenan, dan batutulis.
Ketika peristiwa bubat terjadi, Wastu Kancana masih kecil,sehingga pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada pengasuhnya yang bernama Hyung Bunisora yang berttindak seolah-olah ia sendirilah raja yang sah di Sunda. Hyang Bunisora berkuasa selama 14 tahun, dan bukannya enam tahun sebagaimana pendapat sebelumnya. Hal itu didasarkan pada perhitungan masa pemerintahan yang termuat dalam Carita Parahyangan, dengan berpegang pada tahun 1579 sebagai tahun keruntuhan kerajaan Sunda.
Setelah dewasa, Wastu Kancana menerima kembali tampuk pemerintahan dari Hyung Bunisora. Ia memerintah selama 104 tahun. Masa pemerintahan yang sangat lama ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain: ia selalu menjalankan agama dengan baik dan memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Dijelaskan Pada masa pemerintahannya tetua kampung nikmat makan, sang resi tenteram menjalankan peraturan keresiannya mengamalkan purbatisti purbajati. Dukun-dukun dengan tentram mengadakan perjanjian-perjanjian memakai aturan yang bertalian dengan kehidupan, membagi-bagi hutan dan kitarannya, baik oleh si kecil maupun si besar tidak ada kerewelan sedikitpun, bahkan para bajak laut pun merasa aman berlayar menurut aturan sang raja ...berpegang teguh pada undang-undang raja, berdiri teguh pada undang-undang raja, berdiri pada sanghyang Linggawesi, berpuasa dan memuja tidak kenal batas. Sang Wiku dengan tenang menjalankan undang-undang dewa, mengamalkan Sahyang Watagageung. Karena keyakinannya pula ia meletakkan jabatannya.
Cukup menarik pemberitaan tentang Prabu Niskala Wastu Kancana ketimbang pemberitaan mengenai raja-raja atau tokoh lain, Carita Parahyangan menyediakan cukup banyak tempat. Setelah wafat Niskala Wastu Kancana digantikan oleh anaknya yang bernama Tohaan di Galuh. Ia memerintah selama tujuh tahun, ia melakukan kesalahan dengan jatuh cinta kepada perempuan dari luar yang membuat ia tidak lama menjadi raja.
      1.            PUSAT KERAJAAN PAKWAN PAJAJARAN
Ningrat Kancana atau Tohaan di Galuh digantikan oleh anaknya sendiri yang bernama Sang Ratu Jayadewata. Pada prasasti Kebentenan, tokoh ini disebutkan sebagai “yang kini menjadi susuhunan di Pakwan Pajajaran”, tokoh ini pula yang pada prasasti Batutulis disebut dengan nama Prabu Guru Dewataprana.
Sejak masa pemerintahannya, pusat kerajaan telah beralih lagi dari Kawali dengan keratonnya yang bernama Surawisesa ke Pakwan Pajajaran. Baik keraton Kawali maupun keraton Pakwan Pajajaran sama – sama mengandung unsur sura, suatu hal yang masih dilanjutkan pada nama keraton Banten, yaitu surasowan dan surakarta atau jayakarta untuk tempat yang sebelum jatuh ke tangan Islam bernama Sunda Kelapa. Prasasti Kebantenan menyebutkan usaha Jayadewata untuk membuat daerah kependetaan bernama Jayagiri dan Sunda Sembawa. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai usahanya untuk lebih menggiatkan usaha pengajaran keagamaan.
Sang Ratu Jayadewata menjalankan pemerintahannya berdasarkan kitab – kitab hukum yang berlaku, sehingga pemerintahannya berjalan dengan aman dan tentram. Pada masa itu tidak terjadi perang, jika ada rasa tidak aman, hal itu hanya terjadi pada mereka yang berani melanggar Sanghyang Siksa.
Pada masa pemerintahan Sang Ratu Jayadewata, sudah ada penduduk kerajaan Sunda yang beralih agama. Berita Portugis mengatakan bahwa di Cimanuk, yakni kota pelabuhan yang sekaligus merangkap menjadi batas kerajaan Sunda disebelah timur, banyak dijumpai orang Islam. Mereka inilah yang munkin dalam Carita Parahyangan disebutkan merasa tidak aman karena melanggar Sanghyang Siksa.
Pengaruh Islam memang belum sampai ke pusat kerajaan, namun Sang Ratu Rajadewata sudah mengantisipasinya dengan mencari sekutu, yakni Portugis yang ketika itu sudah menduduki Malaka. Oleh berita Portugis dikatakan bahwa pada tahun 1512 M dan 1521 M, Ratu Samiam (Sanghyang) dari kerajaan Sunda memimpin perutusan ke Malaka, tetapi pada tahun 1522 M Hendrik de Leme memimpin perutusan Portugis ke Sunda yang beribu kota di Dayo, Ratu Samiam sudah berkuasa sebagai raja. Jika hal ini dihubungkan dengan Carita Parahyangan, berarti Ratu Samiam adalah seorang raja yang gagah dan berani yang menggantikan Sang Ratu Jayadewata dan memerintah selama 14 tahun (1521–1535 M). Ini berarti bahwa pada waktu memimpin perutusan ke Malaka, kemungkinan terbesar adalah Ratu Samiam atau Surawisesa ini menduduki jabatan sebagai putra mahkota.
Ketika banyak penyerbuan terjadi, yang menjadi Raja adalah Prabu Ratudewata (1535–1543 M). Masa pemerintahannya diakui sebagai masa yang penuh derita. Beberapa kali pasukan Islam berusaha merebut ibu kota kerajaan, tetapi usahanya belum berhasil dan akhirnya tentara Islam memperoleh kemenangan pada tahun 1559 M. Serangan – serangan itu dipimpin langsung oleh Maulana Hasanuddin yang dibantu oleh anaknya, Maulana Yusuf.
Di dalam Carita Parahyangan dan naskah Purwaka Caruban Nagari dikatakan bahwa sekitar abad XV Masehi, di Cirebon telah ada perguruan Islam, jauh sebelum Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dilahirkan. Pada masa itu memang diduga Cirebon sudah merupakan sebuah kota yang cukup ramai, dengan penduduknya campuran antara orang – orang Sunda dan orang – orang Jawa.
Jatuhnya Sunda Kelapa, pelabuhan terbesar keajaan Sunda ke tangan pasukan Islam pada tahun 1527 M, telah menyebabkan terputusnya hubungan antara pusat kerajaan Sunda yang terletak di pedalaman, dengan daerah luar. Bala bantuan Portugis tidak pernah dapat sampai ke Dayo, karena keadaan pada waktu itu tidak memungkinkan. Jalan niaga kerajaan Sunda satu persatu jatuh ke tangan pasukan Islam, sehingga raja hanya dapat bertahan di pedalaman.
Dalam keadaan seperti itu, kerajaan Sunda justru sudah tidak punya lagi pemimpin yang meyakinkan. Prabu Ratudewata yang menggantikan Surawisesa, malah hidup sebagai raja pendeta, dan tidak menghiraukan kesejahteraan rakyatnya. Pada masa pemerintahannya itulah terjadi serangan – serangan yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Raja penggantinya yakni Sang Ratu Saksi yang merupakan seorang yang kejam dan suka main perempuan. Demikian pula pengganti Sang Ratu Saksi, Tohaan di Majaya yang malah memperindah keraton, mabuk – mabukan, berfoya – foya, dan melupakan tugasnya sebagai  raja. Pada masa pemerintahan raja terakhir yakni Nusiya Mulya, kerajaan pun sudah tidak mungkin dipertahankan lagi. Kerajaan Sunda dikalahkan oleh Islam pada masa akhir pemerintahannya.
Di bidang politik, Jayadewata juga melakukan tindakan – tindakan yang cukup tegas di dalam usahanya menghadapi meluasnya Islam didaerahnya. Ia melakukan hubungan dengan Portugis, yang sejak tahun 1511 M telah menguasai bandar Malaka. Selain untuk menyelamatkan pernaiagaan Sunda, juga hubungan itu dimaksudkan untuk menyelamatkan kerajaan sunda secara umum. Hubungan dengan portugis sudah dimulai pada tahun 1512 M, ketika Jayadewata mengirimkan perutusan yang dipimpin oleh Ratu Samiam (Sanghyang) yang meminta bantuan kepada Alfonso d’Albuquerque, penguasa bandar Malaka. Ratu Samiam untuk kedua kalinya datang ke Malaka pada tahun 1521 M dengan maksud yang sama, tetepi pada waktu itu penguasa Malaka sudah diganti oleh Jorge d’Albuquerque.
Sebagai kunjungan balasan, juga dalam rangka persetujuan diantara kedua belah pihak, pada tahun 1522 M pihak Portugis mengirimkan Hendrik de Leme untuk memimpin perutusan ke Sunda. Jayadewata digantikan oleh Surawisesa  setelah ia berkuasa selama 39 tahun. Pada tahun 1521 M adalah akhir masa pemerintahan Jayadewata menurut perhitungan yang didasarkan pada pada tahun 1579 M sebagai tahun terakhir pemerintahan raja Sunda Nusiya Mulya yang memerintah selama 12 tahun.
Dari berita itu dapat pula dipastikan bahwa Surawisesa menurut Carita Parahyangan adalah Ratu Samiam. Ini berarti bahwa Ratu Samiam sebelum naik takhta mempunyai kedudukan yang cukup tinggi, dan kemungkinan besar sebagai putra mahkota. Sebagai putra mahkota, ia berkuasa di daerah Sangiang, yaitu daerah yang tetrletak di sekitar Jatinegara. Walaupun belum jelas ia anak raja atau bukan, namun dalam hal raja Sunda yang tidak memiliki anak, penggantinya dipilih dari raja – raja daerah yang paling besar dan penting, karena Kalapa adalah bandar kerajaan Sunda yang terpenting dan terbesar sehingga raja daerahnya juga tidak mustahil mempunyai kesempatan terbesar untuk menjadi raja seandainya raja yang bertakhta di Dayo atau Pakwan Pajajaran tidak memiliki anak.
Perjanjian yang diselenggarakan antara Portugis dan Sunda berlangsung ketika Ratu Samiam atau Surawisesa berkuasa. Perjanjian itu terjadi pada tanggal 21 Agustus 1522 M, isinya adalah pernyataan pihak Portugis untuk membantu kerajaan Sunda jika sewaktu – waktu kerajaan ini diserang oleh orang Islam. Sebagai imbalannya, pihak Portugis diperkenankan mendirikan benteng di bandar Banten, dan diberi hak untuk memperoleh lada sebanyak 350 kuintal setiap tahunnya. Dari pihak Sunda yang menandatangani perjanjian tersebuat adalah raja Sanghyang sendiri.
Walaupun sebelumnya sudah ditetapkan bahwa loji Portugis akan didirikan di Banten, kenyataannya mereka memilih Kalapa sebagai tempat yang cocok untuk pendirian loji tersebut. Di tempat yang mereka pilih itu, mereka dirikan sebuah padrao, yang letaknya di tepi sebelah timur muara Sungai Ciliwung. Ternyata benteng atau loji itu tidak pernah berhasil mereka dirikan. Hal ini disebabkan perjanjian tersebut baru tiba di Kalapa pada tahun 1527 M, ketika itu Kalapa sudah dikuasai oleh pasukan Islam yang dipimpin oleh Feletehan. Usaha  - usaha untuk merebutnya dari tangan Islam oleh pihak Portugis tidak pernah berhasil, sehingga benteng portugis itu pun tidak pernah didirikan. Sementara mengharapakan bantuan Portugis yang tidak pernah tiba itu, Surawisesa terpaksa berperang sendiri melawan pasukan Islam.
Masa pemerintahan Surawisesa yang hanya 14 tahun itu (1521-1535 M), ia berperang sabanyak 15 kali, dan tidak pernah mengalami kekalahan. Raja penggantinya yakni Prebu Ratudewata (1535-1543 M), pada masa pemerintahannya benyak sekali tentara musuh yang datang menyerbu, sehingga terjadilah pertempuran. Dalam pertempuran tersebut, gugur Tohaan Sarendet dan Tohaan Ratu Sanghyang. Dapat diperkirakan bahwa Tohaan Ratu Sanghyang yang gugur ini adalah raja daerah Sanghyang yang menggantikan kedudukan Surawisesa setelah ia menjadi raja pusat. Kekacauan itu meliputi daerah yang cukup luas sehingga terjadi juga di Ciranjang dan Sumedang, sementara daerah kependetaan yang diresmikan oleh Ratu Jayadewata di Jayagiri dibenamkan ke laut.
Pada masa Sang Ratu Saksi, Carita Parahyangan tidak memberikan uraian terjadinya perang. Namun jika diingat, bahwa pada tahun 1546 M seluruh kekuatan kerajaan Demak dikerahkan untuk menyerbu dan menaklukkan Pasuruan. Demak juga mengikutsertakan armada Banten dan Cirebon yang dipimpin oleh Ki Fadhillah yang ketika itu sudah diangkat menjadi raja di Kalapa sebagai wakil Sultan Demak. Sang Ratu Saksi yang berkuasa selama 8 tahun itu (1543-1551 M) meninggal di Pengpelangan, kemudian digantikan oleh Tohaan di Majaya (1551-1567 M). Karena kalah perang, raja ini kemudian meninggalkan ibu kota kerajaan walaupun sebelumnya ia telah memperindah keraton.
Pada masa pemerintahan raja yang terakhir yakni Nusiya Mulya, keadaan sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Perubahan ditengah penduduk makin terasa, terutama yang disebabkan oleh datangnya Islam. Pada masa pemerintahannya itulah Islam mulai memperoleh kemenangan demi kemenangan dalam perang – perang yang dilakukannya. Satu persatu daerah Rajagaluh, Kalapa, Pakwan, Galuh, bahkan Portugis berhasil dikalahkan oleh Islam. Bersamaan dengan itu, tamat pula riwayat kerajaan Sunda sebagai salah satu benteng terakhir budaya Hindu-Buddha di Indonesia pada tahun 1579 M.
  A.          KEADAAN MASYARAKAT
1.      Struktur Birokrasi
Pajajaran adalah sebuah pusat kerajaan, hampir semua bukti yang ada menunjuk  Pajajaran sebagai pusat kerajaan, lengkapnya Pakwan Pajajaran (prasasti Kebantenan dan Batutulis). Yang menyebut Pajajaran sebagai nama kerajaan hanyalah carita pantun yang bernilai sastra.
Sumber-sumber asing juga tidak pernah menyebut adanya kerajaan Pajajaran. Tome Pires menyebutkan ada sebuah Negara Cumda (Sunda) dengan ibu kotanya bernama Dayo (Dayeuh). Dalam bukunya Da Asia, Barros, menyebut bahwa daerah Sunda terbentang antara ujung Jawa Barat sampai dengan sungai Cimanuk. Barbosa mengatakan bahwa Qumda (Sunda) adalah suatu tempat yang kecil saja di mana banyak terdapat lada.
Dari berita Cina, Cheng-ho, mengunjungi Negara di sebelah selatan Cina dan salah satu yang pernah dikunjunginya bernama Sun-la, kemungkinan besar Sun-la adalah pelafalan Cina untuk Sunda.
Dari dalam negeri, dalam Carita Parahyangan menyebutkan adanya seorang Tohaan di Sunda (Yang Dipertuan di Sunda) sebagai mertua Rahyang Sanjaya. Dalam Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian menyebutkan “… kita pergi ke Jawa, tidak bisa mengikuti bahasa mereka, demikian juga adatnya, canggunglah perasaan kita. Setelah kembali lagi ke Sunda tidak dapat berbicara bahasa Jawa, seperti yang bukan pulang dari rantau…”
Kitab Pararaton juga menyebutkan Sunda sebagai daerah ,” … lalu terjadilah peristiwa Sunda-Bubat. Bhre Prabhu menginginkan putri dari Sunda. Patih Madu diutus untuk mengundang orang Sunda. (karena) baiklah seandainya orang Sunda dijadikan besan…”. Bahkan, ada sebuah naskah lain yang menggunakan Sunda sebagai namanya, yaitu Kidung Sundayana.
Selain bukti-bukti tersebut, beberapa bukti prasasti menyebut nama Sunda sebagai sebuah nama kerajaan yaitu Prahajyan Sunda. Isinya yaitu, Sri Jayabhupati menyebut dirinya sebagai haji ri sunda (raja dari Sunda). Ada sebuah prasasti lagi yang diketemukan di Kediri Selatan (Horren) yang menyebut tentang adanya penyerangan dari Sunda.
Tome Pires menyebutkan, kerajaan Sunda dipimpin oleh seorang raja. Selain raja pusat, didaerah-daerah tertentu dijumpai raja yang berkuasa didaerah masing-masing. Hak waris takhta diturunkan kepada anaknya, tetapi jika raja tidak punya anak, yang menggantikannya adalah raja daerah yang memiliki kekuasaan terbesar.
Kerajaan Sunda memiliki enam pelabuhan yang penting (Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Kalapa, dan Cimanuk) dan masing-masing pelabuhan dipimpin oleh syahbandar atau nakhoda. Tugas nakhoda adalah bertanggung jawab kepada raja dan bertindak sesuai wakil raja di bandar-bandar  yang mereka kuasai.
Sanghyang Siksakanda ng Karesian memberikan penjelasan lebih. “
… nihan sinangguh dasa prebakti ngaranya. Anak bakti di bapa, ewe bakti di laki, hulun bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wong tani bakti di wado, wado bakti di mantra, mantra bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang…” . inilah peringatan yang disebut sepuluh kebhaktian : anak bakti kepada bapa, istri bakti kepada suami, rakyat bakti kepada majikan, murid bakti kepada guru, petani bakti kepada wado, wado bakti kepada mantri, mantri bakti kepada nu nangganan, nu nangganan bakti kepada mangkubumi, mangkubumi bakti kepada raja, raja bakti kepada dewata, dewata bakti kepada hyang.
Dari Siksakanda ng Karesian, bisa dikatakan seperti ini. Dalam pelaksanaan tugas harian raja dibantu oleh mangkubumi yang membawahi beberapa nu nangganan. Raja digantikan oleh anaknya, akan tetapi apabila raja  tidak memiliki anak, raja daerah bisa menggantikan kedudukan raja yang bertakhta di pakwan Pajajaran. Untuk mengurusi masalah yang berhubungan langsung dengan perdagangan, raja menunjuk seorang syahbandar sebagai pengawas dipelabuhan.
Menurut Tome Pires, ibu kota Sunda yang berada di Dayo itu berjarak dua hari dari bandar Kalapa. Kotanya besar dengan penduduk sekitar 50.000 jiwa. Rumah dikota sangat baik terbuat dari kayu dengan atap terbuat dari daun palem. Raja tinggal diistana yang memiliki 330 buah tiang kayu yang masing-masing sebesar peti anggur. Sedangkan tingginya 5 fathom atau kira-kira 9 ,14 meter (1 fathom = 1,828 meter).
Winkler, pada tahun 1960 berkunjung ke kota Dayo. Ia mengatakan bahwa ibu kota Pakwan Pajajaran terletak diantara 2 buah sungai besar yang sejajar. Jadi pada abad XVII M, Pakwan juga dikenal sebagai ibu kota kerajaan atau pusat kerajaan, dan bukan nama kerajaan itu sendiri. Hal ini ditunjang oleh beberapa prasasti.
Prasasti Batutulis, menyebutkan bahwa Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, ia itulah yang memariti Pakwan. Prasasti Kebantenan Ц dan Ш berisi tentang “… selamat mudah- mudahan tidak ada rintangan. Demikianlah sakakala (tanda peringatan) Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, pendahulu Yang Dipertuan yang sekarang (berada) di Pakwan Pajajaran.
Prasasti Kebantenan I/IV “… maafkanlah, ini amanat dari Sri Baduga Maharaja, Ratu Haji di Pakwan, Sri Sang Ratu Dewata”. Selanjutnya pada prasasti Kebantenan V “… ini adalah amanat bagi mereka yang menghadap di Pajajaran”.
Prasasti lain yang menyebut Pakwan adalah prasasti Huludayeuh yang juga dikeluarkan oleh raja Surawisesa. “…Ratu Purana (Sri Baduga) Sri Maharaja Ratu Haji di Pakwan. Ia sang Dewata.”.
Dan cerita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan juga bertalian dengan Pakwan Pajajaran.
Dari kutipan diatas, jelaslah bahwa Pakwan Pajajaran adalah sebuah ibu kota kerajaan dan bukan nama kerajaan itu sendiri. Meskipun, banyak kerajaan yang menggunakan nama ibu kotanya sebagai nama kerajaan.
Arti Pakwan Pajajaran. Pendapat pertama yaitu pakwan = paku(tumbuhan paku) dan pajajaran = berjajar. Sehingga Pakwan Pajajaran adalah tempat dimana banyak tumbuhan paku berjajar. Pendapat kedua yang mencoba menghubungkan Pakwan dengan Pakuwan dan Kuwu yang terdapat dalam kitab Negarakertagama. Pendapat ketiga adalah kata paku dihubungkan dengan lingga kerajaan, paku dalam pengertian lingga adalah pusat atau poros kerajaan.
Pakwan Pajajaran didirikan oleh Prabu Tarusbawa yang disesuaikan dengan tokoh Tohaan dalam Carita Parahyangan. Ia juga dianggap sebagi pendiri keraton Pakwan Pajajaran yang bernama Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Dan nama keraton kerajaan Kawali adalah Surawisesa, dan unsur sura merupakan keraton induk.
Oleh karena itu, keraton Pakwan Pajajaran dianggap sebagai Panca Persada ( lima buah bangunan ). Suradipati sebagai pusatnya. Kelima keraton inilah yang disebut dalam Carita Parahyangan. Kelima keraton ini disebut sebagai persemayaman Sanghyang Sri Ratu Dewata atau yang disebut Sri Baduga Maharaja (Batutulis).
1.      Agama
Cerita Paharyangan jelas sekali memperhatikan semangat yang bersifat kehinduan. Naskah ini dibuka dengan kisah tokoh yang legendaris bernama Sang Resi Guru dan punya anak yang bernama Rajaputra.  Walaupun kemudian Sanjaya yang beragama hindu menasihati anaknya, Rahyang Tamperan atau Rekeyan Panaraban, agar tidak mengikuti agama yang di peluknya. Hal itu terlihat ketika memberitakan Sanghyan Darmasiksa, yang di katakan sebagai titisan Batara Wisnu, di dalam naskah juga disebutkan adanya para pendeta yang gugur tanpa dosa, ketika terjadi huru-hara pada masa pemerintahan Prabu Ratudewata (1535-1543 M). Prasasti Sanghyan Tapak (1030 M) yang dikeluarkan oleh Sri Jayabhupati, juga memperlihatkan kuatnya pengaruh agama Hindu.
Pengaruh Hindu ini rupanya cukup kuat, sehingga di dalam naskah Sewakadarma yang juga di sebut Serat Dewabuda dan berasal dari tahun 1357 saka atau 1435 M. Dan juga ditemukan nama-nama para dewa agama Hindu seperti Brahma, Wisnu, Maheswara, Rudra, Sadasiwa, Yama, Baruna, Kuwera, Indra, dan Besrakawa. Naskah ini, walaupun berasal dari daerah Gunung Cupu, sebuah gunung yang cukup terkenal dalam dongengan yang hidup dalam kalangan orang Sunda, ternyata mempergunakan bahasa Jawa Kuno.
Jadi rupanya, pada masa kerajaan Sunda yang berlangsung sejak awal abad VIII hingga menjelang akhir abad XVI M, kehidupan keagamaan masyarakat kerajaan itu bercorak Hindu-Budha yang telah berbaur pula dengan unsur agama leluhur sebelumnya. Petunjuk ke arah ini ditemukan dalam naskah yang sama, mangkubumi berbakti kepada ratu, ratu berbakti kepada dewata, dewata berbakti kepada hyang.
Dari kutipan tersebut jelas bahwa pada awal abad XVI M, kehidupan keagamaan yang pada masa sebelumnya hanya memperlihtakan sifat-sifat agama leluhur. Ini membuktikan dengan “menurukan” derajatDewata di bawah hyang. Selanjutnya Sanghyang Karesian memberikan keterangan, dengan menujukan bahwa asas ajaran Budhaisme pada pemerintahan Sri Baduga Maharaja telah dikembangakan dan diterapkan kedalam kehidupan sehari-hari. Sehgi negatif pada ajaran Budhaisme telah di ubah menjadi segi positifdalam bentuk Dasamarga. Bila hal ini dilaksanakan dengan semestinya menurut petunjuk Sanghyan Siksakandang Karesian, negara akan makmur, rakyat akan sejartera, tanah akan subur, tanaman tumbuh dengan subur, hujan akan turun dengan teratur dan kehidupan dunia pun akan aman dan sentosa.
Pada masa itu terdapat orang-orang yang cukup ahli di bidang keagamaan ini. Ada beberapa golongan yang dapat dijadikan tempat bertanya hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan kerohanian dan kehidupan keagaaman pada khususnya. Orang yang mengetahui dengan baik tingkat-tinglat kehidupan agama ini disebut paratanda. Dari paratanda ini akan diketahui bahwa acara kalah oleh adigama, adigama kalah oleh gurugama, gurugama akan kalah oleh tuhagama, tuhagama kalah dengan satmata, satmata kalah oleh surakloka, dan akhirnya surakloka kalah oleh nirawerah.
Orang yang mengetahui dengan baik aji mantra disebut Brahmana. Orang tang dapat dimintai berbagai macam pemjaan yang di lakukan di sanggar di sebut Janggan. Orang yang mengenal sandi, tapa, lungguh dll, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan nata-nata para dewata, disebut sang wiku para loka. Agama Hindu dan Budha pada masyarakat Sunda dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan arkeologis yang ditemukan hampir diseluruh wilayah Jawa Barat dan Banten. Dipulau ujung , paling barat Banten ditemukan arca Ganesa dan Siwa. Di Kabupaten Lebak ditemukan  sisa-sisa candi Siwa bersama dengan arca Agastya dan Ganesa. Di situs yang sama , juga ditemukan arca Budha. Di kaki gunung Pulasari, Menes , Pandeglang ditemukan sebuah arca Hindu yang terdiri dari arca Siwa, Agastya, Ganesa, Durga, Brahma, dan sebuah Yoni. Dikota Banten sendiri, tepatnya di Karangantu ditemukan sebuah acra Nandi.
Tinggalan candi lainya berupa kompleks candi di Cibuaya, Karawang. Di situs ini terdapat enam reruntuhan sisa bangunan dari batu bata, diantara reruntuhan candi di sebut lemah duwur lanang yang pada puncaknya terdapat lingga semu dan lemah duwur wadon. Tak jauh dari situs itu , terdapat tiga buah arca Wisnu, dua arca yang ,asih utuh dikenal dengan arca Wisnu Cibuaya I dan Wisnu Cibuaya II yang berasal dari abad VII-VIII M. Kemudian candi Bojongmence di Rancaekek, Bandung; Candi Camgkuan di Letes, Garut. Di Indihang, Tasikmalaya ditemukan sisa-sisa pondasi dengan lingga dan yoni. Ke arah timur lagi , yaitu daerah Ciamis, di Pamarican dan Klipucang terdapat stuktur bangunan dan beberapa lingga, yoni, dan arca Nandi. Di Cisaga, tidak jauh dari ditemukanya prasasti Mndiwunga dari abad X M terdapat situng Karangkamulyan.kemudian di daerah Pangandaran yang dikelan dengan candi Kalde ditemukan arca Nandi.
Tinggalan arkeologis candi budha di Jawa Barat dan Bnten tidak sebanyak tinggalan agama Hindu.selain di Lebak, Banten, sejumlah arca dari Pantheon Buddha ditemukan di Talaga, Majalengka. Di sampuing arca tinggalan arkeologis agama adalah berupa bangunan suci terdapat di Batujaya, Karawang. Bangunan suci tersebut merupakan bangunan kompleks percandian yang cukup besar. Di Jawa Barat juga ditemukan tempat-tempat pemujaan yang berupa bangunan berundak yang merupakan tradisi megalitik, tetapi memperlihatkan bahwa situs-situs berasal dari masa Hindu-Budha yang dapat dilihat dari prasasti, arca-arca dewa, lingga dan yoni yang ditemukan disitu.
Arca-arca yang ditemukan di Jawa Barat dan Banten, baik dari arca-arca dewa maupun arca manusia, dipahat sederhana yang mesih berciri arca megalitiks seperti arca Cikapundung dan Kosala. Demikan pula dengan lingga, beberapa lingga ditemukan berupa lingga semu, artinya bukan dalam bentuk lingga lengkap. Di situs Astana Gede, Kawali bertuliskan berypa batu tegak atau menhir.
Seperti yang telah disutkan, masyarakat sunda merupakan masyarakat ladang yang hidup berpindah-pindah, agama yang dijalankan lebih mengutamakan isi dari pada bentuk, sehinga ukuran keagamaan di ukur bukan dari nilai material benda-benda upacaranya.melainkan dari dalam hati dan tingkah laku. Mungkin dari itu bangunan keagamaa, arca maupun lingga yang terdapat di Jawa Barat bentuknya lebih sederhana dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
1.      Kesenian
Di dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian dapat diketahui adanya orang-orang yang dipandang ahli disalah satu bidang kesenian, misalnya sastra, lukis, ukir, dan gamelan. Orang yang mengetahui berbagai macam cerita disebut memen, sedangkan cerita – cerita yang diketahuinya antara lain Damarjati, Sanghyang Bayu, Pu Jayakarma, Ramayana, Adiparwa, Ranggalawe, Tantri, dll.
Jenis – jenis kawih seperti kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan, dll. Ada juga macam – macam permainan yang disebut pameceuh yakni tatapukan, ubang-ubangan, ngadu lesung, ngadu nini, dll. Ada pula carita pantun yang merupakan cerita asli berasal dari Sunda dengan ahlinya disebut prepantun, dan pantun – pantunnya yaitu Langgalarang, Banyakcatra, Hatur Wangi, dan Siliwangi.
Mengingat bahwa pada awal abad XVI M Siliwangi sudah dikenal sebagai salah seorang tokoh dalam carita pantun, ada kemungkinan bahwa Prabu Siliwangi adalah raja terbesar kerajaan Pajajaran menjelang masuknya Islam. Namun tidak ada satupun sumber sejarah yang menyebutkan salah seorang raja Sunda bernama Prabu Siliwangi. Niskala Wastu Kancana yang sudah meninggal 40 tahun sebelum naskah ini ditulis itulah yang mungkin dianggap sebagai Siliwangi.
Jenis – jenis batik adalah kekembangan, alas-alasan, urang-urangan, kembang terate, dll. Ahlinya disebut lukis
1.      Ekonomi
Dalam naskah Sahyang ng Karesian, memberikan keterangan mengenai pembagian kelompok masyarakat kerajaan Sunda berdasarkan fungsi yang dimiliki tiap-tiap kelompok itu . oleh karena itu dijumpai kelompok ekonomi yang kemudian terbagi lagi ke dalam beberapa golongan, kelompok rohani, dan cendekiawan, kelompok alat negara, dan sebagainya.
Kelompok masyarakat berdasarkan ekonomi antara lain: pangalasan, (orang utas), juru lukis(pelukis), pande dang(pandai tembaga, pandai perabot tembaga), pande mas (pandai emas), pande glang (pandai gelang), pande wesi (pandai besi), dan lain sebagainya.
Kelompok masyarakat yang bertugas sebagai alat negara adalah mantri bayangkara (penjaga keamanan), prajurit (prajurit, tentara), pam(a)rang (pemegang tentara), nu nangganan (nama jabatan dibawah mangkubumi), kepala prajurit disebut hulu jurit. Kelompok rohani dan cendekiawan terdiri dari memen (dalang), yang mengetahui berbagai macam cerita, paraguna,yang mengetahui berbagai macam lagu,  hempul, yang mengetahui berbagai macam permainan, prepantun,yang mengetahui berbagai macam pantun, marangguy  yang mengetahui berbagai macam ukiran, dan lain sebagainya.
Semua kelompok masyarakat yang disebutkan di atas dalam menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan fungsinya disebut ngawakan tapa di nagara (melaksanakan tapa di tengah negara).selain itu ada juga pekerjaan yang disebut cakut marut, sesuatu yang pantang diturut. Pekerjaan itu antara lain: meor, ngodok, (merogoh), nyepet(mencopet), ngarebut,(merebut,merampas), ngarorogoh, (merogoh saku), pepanjingan, (memasuki rumah orang), maling (mencuri), ngabegal, (membegal).
Kerajaan Sunda adalah negara yang umumnya hidup dari pertanian, terutama perladangan. Di dalam Carita Parahyangan hanya satu kali disebutkan sawah, itu pun dalam hubungannya dengan nama suatu tempat yang disebut sawah tampiran dalem, tempat dipusarkannya Ratu Dewata. Petunjuk selebihnya, mengarahkan kenungkinan adanya masyarakat yang berladang, yang dimulai dengan berita tentang kelima orang titisan pancakusika, dimana tiga orang masing-masing menjadi pahuma, (peladang), panggerek (pemburu), panyadap (penyadap), yang ketiganya itu merupakan jenis pekerjaan di ladang.
Demikian juga dengan berita yang diperoleh dari Sahyang Siksakanda ng Karesian yang menyebutkan penyewah sekali saja, dan itu pun masih pekerjaan yang dianjurkan untuk dipelajari. Ciri yang paling menonjol pada masyarakat berladang adalah selalu berpindah tempat, yang secara langsung turut memberi pengaruh terhadap bangunan tempat tinggal mereka.
Manusia yang hidup berladang umumnya bertempat tinggal di ladangnya masing-masing yang membuat mereka hidup terpencil dari peladang lain yang menjadi tetangganya. Ini menyebabkan taraf  kebersamaan masyarakat ladang lebih longgar dibandingkan dengan masyarakat sawah.hal ini bukanlah sarana yang baik untuk tempat berkembangnya sastra atau hasil seni lainnya tetapi  Adanya memen yang mengetahui berbagai macam cerita dan pepantun yang mengetahui berbagai cerita pantun, sudah memberikan petunjuk bahwa jenis-jenis seni telah dikenal oleh masyarakat Sunda pada masa itu.
Kerajaan Sunda mempunyai enam buah bandar yang cukup ramai dan penting. Melalui ke enam bandar itulah kerajaan Sunda melakukan niaga atau perdagangan dengan daerah  maupun negara lain. Bahan makanan dan lada adalah barang dagangan yang merupakan sumber penghasilan kerajaan Sunda. Selain itu barang-barang lainnya yang dapat diperoleh dari bandar-bandar kerajaan sunda adalah sayur-mayur, sapi, kambing, biri-biri, babi, tuak, dan buah-buahan.
Mata uang yang beredar di Kerajaan Sunda menurut Tome Pires disebut ceitis, calais,(=1.000 ceitis). Sedangkan untuk pembayaran kecil, menggunakan mata uang Cina.
Bandar-bandar kerajaan Sunda oleh Tome Pires digambarkan sebagai berikut: Banten merupakan sebuah kota niaga yang baik, terletak ti tepi sungai yang dikepalahi oleh syahbandar yang wilayah niaganya mencapai Sumatra bahkan sampai ke kepulauan Maladewa. bandar itu memperdagangkan beras, bahan makanan lain, dan lada. Pontang merupakan sebuah kota  yang besar, tetapi pelabuhannya tidak sepenting Banten. Sedangkan barang yang diperdagangkan sama dengan yang ada di Banten. Cigede juga sebuah kota yang besar.perniagaan dengan bandar ini dilakukan dengan Pariaman, Andalas, Tulangbawang, dan lain-lain. Barang dagangannya pun sama dengan kedua bandar di atas. Tamgara  yang juga sebuah kota yang besar, barang niaganya sama dengan bandar-bandar yang disebutkan di atas. Kalapa adalah pelabuhan kerajaan Sunda yang terbaik hubungan niaganya antara lain dengan Sumatra, Palembang, Lawe, Tanjungpura, Malaka, Makassar, Jawa dan Madura. Kalapa terletak kira-kira dua hari perjalanan drai ibu kota kerajaan Sunda yang disebut Dayo,tempat bersemayam raja. Para pedagang dari seluruh kerajaan Sunda selalu berdatangan ke bandar ini. Kota ini diperintah dengan cukup tertub dan teratur . di bandar ini terdapat pengadilan, lengkap dengan hakim dan paniteranya. Yang bertugas mengadili pelanggaran yang dilakukan penduduk kota itu, atas peraturan Raja yang tertulis demi ketertipan kota. Cimanuk  merupakan peabuhan yang terletak paling timur dan menjadi batas kerajaan. Di bandar ini sudah banyak berdiam orang-orang yang beragama islam, walaupun syahbandarnya sendiri masih seorang yang beragama Sunda.
Di samping itu Kerajan Sunda juga mempunyai jalan lalu lintas darat yang cukup penting namun jarang diketaui oleh para pedagang asing di masa yang lebih kemudian. Jalan darat itu berpusat di Pakwan Pajajaran dengan karangsambung yang terletak di tepi Cimanuk – batas kerajaan di sebelah timur-melalui Cileungsi dan Cibarusah, lalu dari sana membelok ke arah utara sampai ke Tanjungpura ada sambungannya melalui Cikao dan Purwakarta, kemudian berakhir di Karangsambung. Sementara itu, jalan lainnya yang menuju ke barat, bermula dari Pakwan Pajajaran melalui jasinga dan Rangkasbitung, menuju Serang dan berakhir di Banten yang merupakan bandar Kerajan Sunda yang paling berat. Melalui jalan-jalan darat dan sungai itulah hasil bumi kerajaan Sunda diangkut, dan melalui jalan yang sama itu pula kebutuhan penduduk di daerah pedalaman terpenuhi.
Bahasa-bahasa asing yang dikenal pada masa Kerajaan Sunda disebut carek paranusa, antara lain tercakup di dalamnya bahasa-bahasa Cina, Keling, Parasi, Mesir, Samudra, Banggala, Makassar, Pahang, Palembang, Siem,Kalanten, Bangka, Buwun, Beten, Tulangbawang, Sela, Tego, Pasai, Paryaman, Nagaradekan, Dinah, Andeles, Moloko,Badan, Kebo, Malangkebo, Mekah, Laweh, Saksak,Sebawa, Bali, Jengi, Sabini,Ngogan, Kanangen, Kumiring, Simpangtiga, Gumantng, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan  dan masih banyak lagi. Dari bahasa-bahasa tersebut dapat dijadikan petunjuk dengan daerah mana saja kerajaan Sunda melakukan hubungan dagang. Di dalam kegiatan tersebut rupanya juru baca darmamurcaya memegang peran yang cukup penting, karena dengan bantuan mereka itulah talimarga antara orang-orang yang berhubungan itu dapat terlaksana.

referensi:
Referensi :
R. P. Soejono. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Ц. Jakarta: PT Balai Pustaka
.2007. Sejarah Nasional Indonesia  Ц. Jakarta: PT Balai Pustaka 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar