Pencarian

Sabtu, 24 Januari 2015

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN



PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN



MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Pancasila
Yang dibina oleh Mifdal Zusran Alfaqi





Oleh
Achmad Al Fattah                                          (130731607260)
Achmad Dwi Susianto                                    (130731607263)
Galih Yoga Wahyu Kuncoro                          (130731615690)
Niki Dwi Ayuningtyas                                    (130731615704)
Tabita Asih Panglipur                                     (130731607237)








UM Malang
 
















UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN SEJARAH
Maret 2014



BAB 1
PENDAHULUAN

1.         Latar Belakang
            Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sangatlah berpengaruh. Sebab di dalam pencasila terdapat asas-asas yang mengatur dalam bidang berbangsa dan bernegara. Pengaruhnya diantaranya adalah sebagai dasar negara dan terdapat idiologi-idiologi yang mengatur masyarakat indonesia. Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai acuan, kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir atau jelasnya sebagaisistem nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah atau tujuan bagi ‘yang menyandangnya’.
            Pancasila sebagai paradigma pembangunan bangsa juga memiliki peranan yang sangat di butuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Paradigma menurut Thomas S. Khun dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific of Revolution (1970 : 49). Paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga merupakan suatu sumber hukum-hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan ilmu sendiri.
            Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma mempunyai pandangan yang mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Dalam pancasila sebagai paradigma kehidupan juga memiliki beberapa tahapan yaitu paradigma sebagai iptek dan paradigma sebagai poleksosbud hankam.
            Dalam pancasila sebagai paradigma pengembangan iptek sangatlah membantu dalam perkembangan manusia untuk mewujudkan kesejahteraan dalam peningkatan harkat dan martabat manusia untuk mengembangkan  ilmu dan juga teknologi. Di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi ini merupakan hasil kreativitas dan pengembangan manusia itu sendiri.
            Yang kedua pancasila sebagai paradigma pembangunan poleksosbud hankam. Di dalam bidang ini pancasila pada hakikatnya merupakan reslisasi praksis yang bertujuan untuk mencapai tujuan bangsa. Dalam pembangunan di bidang ini mendasarkan pada hakikat manusia sebagai subyek pelaksaan sekaligus tujuan pembangunan bangsa.
            Kedua jenis paradigma ini adalah perwujutan pancasila  untuk mengatur pembangunan-pembangunan berbangsa dan bernegara. Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.

2.         Rumusan Masalah
a.                   Bagaimana pancasila sebagai acuan paradigma ?
b.                  Bagaimana konsep pancasila sebagai paradigma pembangunan ?
c.                   Bagaimana penarapan pancasila sebagai paradigma pembangunan ?

3.         Tujuan Masalah
a.                   Untuk mendiskripsikan pancasila sebagai acuan pagadigma.
b.                  Untuk mendiskripsikan pancasila sebagai paradigma pembangunan.
c.                   Untuk mendiskripsikan penerapan pancasila sebagai paradigma pembangunan.

           



BAB 2
PEMBAHASAN

1.         Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
Untuk mencapai tujuan hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia melaksanakan pembangunan nasional. Tujuan negara teertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “ Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
            Hakikat kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasionl mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional kita harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai sila-sila Pancasila.
Pada dasarnya nilai-nilai Pancasila berdasar pada dasar ontologis manusia sebagai pendukung pokok Pancasila. Hal ini didasarkan oleh Pancasila sebagai dasar negara dan negara adalah organisasi manusia.  Sehingga negara dalam melaksanakan pembangunan nasional harus mewujudkan tujuan seluruh warga negaranya dan dikembalikan pada aspek manusia “monopluralis”.
            Monopluralis ini meliputi kodrat manusia, rokhani (jiwa) dan jasmani (raga), sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Maka, pembangunan haruslah mendasar  pada paradigma hakikat manusia “monoplurasis”.
            Konsekuensinya dalam realisasi pembangunan nasional dalam berbagai bidang untuk mewujudkan peningkatan harkat dan martabat manusia secara konsisten berdasar pada nilai-nilai hakikat kodrat manusia.  Maka pembangunan nasional harus meliputi aspek jiwa (rokhani) yang meliputi akal, rasa dan kehendak, aspek raga (jasmani), aspek individu, aspek makhluk sosial, aspek pribadi, dan juga aspek ketuhanannya. Kemudian pada gilirannya akan dijabarkan dalam berbagai bidang pembangunan antara lain, politik, ekonomi, hukum, pendidikan, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta bidang kehidupan agama.
2.         Konsep-konsep Pancasila Sebagai Paradigma Pembanguan.
2.1     Konsep Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan IPTEK
            Dalam upaya manusia mewujudkan kesejahteraan dan peningkatan harkat dan martabat manusia, manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada hakikatnya merupakan suatu hasil kreasi rokhani manusia. Rokhani meliputi aspek akal, rasa dan kehendak.
            Atas dasar kreativitas akalnya manusia mengembangkan iptek dalam rangka untuk mengolah kekayaan alam yang disediakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu tujuan utama dari Iptek adalah kesejahteraan manusia.
            Dalam hal ini, Pancasila memberikan dasar nilai-nilai bagi pengembangan Iptek untuk kesejahteraan manusia. Pengambangan Iptek sebagai hasil kreativitas rokhani manusia harus berdasar pada moral Ketuhanan dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.
            Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengkompletasikan ilmu pengetahuan, mencipta, perimbangan antara rasional dan irasional, antara akal, rasa dan kehendak. Berdasar sila ini, Iptek tidak hanya memikirkan apa yang ditemukan, dibuktikan dan diciptakan tetapi juga maksud dan akibatnya terhadap manusia.
Sila ini menempatkan manusia di alam semesta bukan sebagai pusatnya melainkan sebagai bagian sistematis dari alam yang diolahnya (T. Jacob, 1986).
            Sila Kemanusian yang adil dan beradab, memberikan dasar-dasar moralitass bahwa manusia dalam mengembangkan Iptek haruslah bersifat beradab. Oleh karena itu pengembangan Iptek harus didasarkan pada hakikat dan tujuan demi kesejahteraan umat manusia.
            Sila Persatuan Indonesia, mengkomplementasikan universalia dan internasionalisme (kemanusiaan) dalam sila-sila pancasila. Pengembangan Iptek diarahkan demi kesejahteraan umat manusia khususnya warga negara Indonesia, dan pengembangan Iptek harus bisa mengembangkan rasa Nasionalisme.
            Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mendasari pengembangan Iptek harus demokratis. Artinya siapapun bisa dan boleh mengembangkan Iptek. Dan setiap pengembang Iptek harus bersedia dikritik, dikaji ulang dan dibandingkan dengan Iptek yang lain.
            Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengkomplementasikan pengembangan Iptek haruslah menjaga keadilan dalam kehidupan kemanusian yaitu keseimbangan keadilan dalam hubungannya dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan Tuhannya.
            Kesimpulannya adalah Pancasila harus menjadi sumber nilai, kerangka pikir serta basis moralitas bagi pengembangan Iptek.
2.2     Konsep Pancasila sebagai paradigma Pembangunan POLEKSOSBUD HANKAM

a.         Konsep Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Bidang Politik
            Pembangunan dan pengembangan bidang politik harus mendasarkan pada dasar ontologis manusia. Manusia sebagai subjek negara. Oleh karena itu, kehidupan politik dalam negara harus benar-benar untuk merealisasikan tujuan demi harkat dan martabat manusia.
            Dalam sistem politik terdapat Hak Asasi Manusia (HAM) dimana merupakan perwujudan atas hak atas martabat kemanusiaan sehingga sistem politik negara mampu menciptakan sistem yang menjamin hak-hak tersebut.
Negara mendasarkan kekuasaan bersumber pada penjelmaan hakikat manusia sebagai makhluk individu-makhluk sosial yang terjelma sebagai rakyat. Maka kekuasaan negara harus mendasar pada asal mula dari rakyat untuk rakyat. Rakyat sebagai asal mula kekuasaan negara.
            Seperti yang diungkapkan oleh Drs. Moh. Hatta, “negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa, atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Menurut beliau dasar negara tidak berdasar kekuasaan. Oleh karena itu, dalam politik negara termasuk para elit politik dan para penyelenggara negara untuk memegang budi pekerti kemanusiaan serta memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
            Politik negara harus berdasar sila ke kerakyatan (Sila IV), adapun peengembangan dan aktualisasi politik berdasarkan moralitas Ketuhanan (Sila I), moral kemanusiaan (Sila II), moralitas sebagai suatu bangsa (Sila III) dan aktualisasinya politik demi Keadilan dalam hidup bersama (Sila V).

b.        Konsep Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
            Dalam pengembangan ekonomi dikatakan jarang ditemukan pakar-pakar ekonomi yang mendasar, pengembangan ekonomi atas dasar moralitas kemanusiaan dan ketuhanan. Sehingga dalam penerapanya pengembangan ekonomi hanya didasari oleh Kemanusiaan dan Ketuhananya.
            Umumnya pengembangan ekonomi sangat mengarah pada persaingan yang sangat bebas, dan akhirnya yang kuatlah yang menang. Hal tersebut berdasarkan pada implikasi dari pengembangan ilmu ekonomi pada akhir abad ke-18 menubuhkan ekonomi yang kapitalis. Atas dasar kenyataan tersebut maka di Eropa pada awal abad ke-19, sehingga muncullah suatu pemikiran yang reaksi atas pengembangan ekonomi tersebut yaitu sosialisme komunisme yang memperjuangkan nasib para kaum proletar yang di ditindas oleh para kaum kapitalis.
            Dari ketentuan diatas mempunyai dasar kenyataan tersebut adalah Mubyarto kemudian mengembangkan ekonomi kerakyatan, yaitu suatu ekonomi yang humanistik yang berdasarkan pada suatu tujuan demi kesejahteraan rakyat secara luas. Pengembangan ekonomi sendiri bukan hanya mengejar pertumbuhannya saja melainkan demi kemanusiaan, dan kesejahteraan seluruh bangsa.
            Maka dari ketentuaan itu, sistem ekonomi Indonesia mendasarkan atas kekeluargaan seluruh bangsa. Dalam pengembangannya perekonomian di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan nilai-nilai moral kemanusiaan (Mubyarto, 1999). Hal tersebut didasarkan pada kenyataan untuk memenuhi kebutuhan manusia, agar manusia menjadi lebih sejahtera. Sehingga dalam kaitannya pengembangan ekonomi harus memiliki tujuan mensejahterahkan manusia dan menghindari dari persaingan yang tidak sehat, atau persaingan yang bebas.

c.         Konsep Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya
            Di dalam pengembangan aspek sosial budaya didasarkan pada sistem nilai yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Terutama bagi bangsa Indonesia yang melakukan reformasi di segala bidang saat ini. Sebagai anti klimaksnya proses reformasi saat ini sering kita saksikan dengan adanya nilai sosial budaya dalam masyarakat, sehingga tidak mengherankan jika di berbagai wilayah atau daerah di Indonesia saat ini terjadi berbagai macam gejolak yang sangat memprihatinkan di antaranya kemarahan masyarakat yang berujung dengan tindakan yang anarkis, bentrokan antar masyarakat satu kelompok dengan yang lain juga berakibat yang anarkis. Hal tersebut berawal pada masa politik yang tidak jelas dari kedua pihak yang bersih tegang.
            Karena itu dalam pengembangan sosial budaya pada masa kini, kita harus mampu untuk mengangkat nilai-nilai yang sudah dimiliki bangsa Indonesia, sebagai dasar yakni nilai-nilai dari Pancasila itu sendiri. Didalam prinsip etika Pancasila pada hakikatnya bersifat Humanistik, yang dapat di artikan nilai-nilai dari Pancasila mendasarkan pada nilai yang bersumber pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang memiliki budaya. Seperti halnya dalam rumusan dalam sila kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab” Dalam rangka pengembangan sosial budaya, pancasila merupakan sumber normatif bagi peningkatan humanisasi dalam bidang sosial budaya.
            Sebagai kerangka kesadaran Pancasila kesadaran pancasila dapat merupakan dorongan untuk (1) Universalisai, yaitu melespakan semua simbol-simbol dari keterkaitan struktur, dan (2) Transendentalisasi, yaitu meningkatkan derajat kemerdekaan manusia, dan kebebasan spiritual (Koentowijoyo, 1986). Dengan demikian proses dari humanisasi universal akan membentuk aktualisasi nilai, demi kepentingan kelompok sosial sehingga menciptakan sistem sosial budaya yang beradab.
            Dalam proses reformasi dewasa saat ini masih sering terjadi gejolak masyarakat yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Hal tersebut bisa terjadi akibat dari benturan kepentingan politik demi suatu kekuasaan yang ingin di raihnya. Anehnya dalam suatu aksi yang tidak beradab, tidak manusiawi, dan tidak human tersebut mendapat dukungan politis dari kalangan elit politik sebagai tokohnya.
            Demikian juga dalam peningkatan fanatisme etnis di berbagai daerah juga mengakibatkan lumpuhnya suatu keberadaban masyarakat. Oleh karenanya tugas berat bagi bangsa Indonesia pada paska atau sesudah reformasi adalah mengembangkan aspek sosial budaya dengan berdasarkan penerapan nilai-nilai Pancasila.yang dapat dirincikan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, nilai ketuhanan serta nilai keberadaban yang harus berjalan secara seimbang.

d.        Konsep Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan dan Kemananan
            Pada hakikatnya negara adalah suatu masyarakat hukum. Demi tegaknya hak –hak dan kewajiban warga negara diperlukan peraturan perundang-undangan negara, baik dalam rangka mengatur warga negara maupun menjamin hak-hak warga negara. Oleh karena itu negara bertujuan melindungi segenap wilayah negara dan bangsanya.
            Sehingga keamanan menjadi syarat mutlak untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, agar tercapainya keamanan negara diperlukan sebuah pertahanan negara yang didalamnya berisi aparatur penegak hukum dan keamanan negara.
            Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia mendasarkan diri pada nilai kemanusiaan, maka pertahanan dan keamanan negara harus ditujukan kepada tercapainya harkat dan martabat sebagai pokok negara.  Dasar-dasar kemanusian yang adil dan beradab merupakan basis  moralitas pertahanan dan keamanan negara. Artinya pertahanan dan keamanan tidak dipakai sebagai alat kekuasaan yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), namun sebagai alat penjamin harkat dan martabat manusia.
            Dengan demikian pertahanan dan keamanan negara tidak hanya untuk segelintir warga negara maupun kelompok politik tertentu sehingga negara tidak menjadi totaliter ataupun otoriter. Oleh karena itu pertahanan dan keamanan negara harus didasarkan kepada pancasila berdasar pada nilai-nilai yang terkandung pada pancasila.
            Pertahanan dan keamanan negara harus didasarkan pada tujuan demi tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa (Sila I dan II). Pertahanan dan kemananan negara mendasarkan kepada kepentingan seluruh warga negara Indonesia (Sila III). Pertahanan dan keamanan negara harus mampu menjamin hak-hak dasar, persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan (Sila IV) dan terakhir pertahanan dan keamanan negara haruslah diperuntukkan demi terciptanya keadilan dalam hidup bermasyarakat agar benar-benar negara meletakkan fungsi yang sebenarnya sebagai negara hukum bukan sebagai negara berdasarkan atas kekuasaan.
                                           
e.         Konsep Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Agama
            Sejak terjadinya reformasi pada tahun 1998, di wilayah Indonesia beberapa kali  terjadi konflik sosial yang dipicu oleh masalah agama. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mengalami kemunduran menuju arah ketidak berkemanusiaan. Artinya semakin melamahnya toleransi antar umat agama yang berdasar pada kemanusian yang adil dan beradab.
            Pancasila telah memberikan dasar-dasar nilai yang fundamental bagi umat bangsa Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan beragama di negara Indonesia. Manusia adalah makhluk Tuhan  Yang Maha Esa, oleh karena itu manusia wajib beribadah kepada Tuhannya dalam wilayah negara Indonesia. Tuhan menghendaki agar manusia hidup saling menghormati, karena Tuhan menciptakan manusia satu dengan yang lain itu berbeda tidak lain untuk menciptakan hidup saling damai yang berperikemanusiaan.
            Negara memberikan kebebasan warganya dalam memeluk setiap agama apapun. Menjamin kebebasan beragama dan beribadah dan menjamin demokrasi dalam beragama. Sesuai yang tercantum pada UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
            Oleh karena telah diatur dalam UUD 1945, setiap agama memiliki dasar-dasar ajaran-ajaran sesuai dengan keyakinan masing-masing maka dalam pergaulan hidup negara kehidupan beragama hubungan antar pemeluk agama didasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan yang beradab hal ini berdasarkan nilai bahwa semua pemeluk agama adalah sebagai bagian dari umat manusia di dunia.

3.         Contoh Penerapan Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan.
Pembangunan nasional di Indonesia sekarang ini difokuskan kepada aspek IPTEK dan POLEKSOSBUD HANKAM. Pembangunan di bidang IPTEK misalnya Indonesia memiliki LAPAN, DI, dan PINDAD yang mengembangkan teknologi dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat Indonesia.
Dalam bidang Politik, Indonesia sebentar lagi pada tanggal 9 April 2014 akan mengadakan PEMILU. Hal ini termasuk dalam pengembangan Politik di Indonesia.
Dalam bidang Ekonomi, Indonesia perekonomiannya tumbuh 5.78% menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2013. Artinya pembangunan ekonomi tampak maju.
Dalam bidang Sosial-Budaya, Indonesia yang memiliki keanekaragaman tinggi karena termasuk negara multikultural turut serta dalam mengembangkan kebudayaannya. Banyak kebudayaan asli Indonesia yang ditampilkan di dalam negeri bahkan beberapa diantaranya hingga keluar negeri.
Dalam bidang Pertahanan dan Keamanan, Indonesia mulai memodernisasi alutsistanya. Mulai pembangunan alutsista didalam negeri. Contohnya kapal yang dibangun oleh PT PAL dan pesawat terbang yang dibangun oleh PT DI hingga kendaraan tempur semisal anoa yang di buat oleh PT PINDAD.




BAB 3
PENUTUP

1.         Kesimpulan
            Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dipakai dalam paradigma (pandangan) pembangunan nasional yang meliputi aspek IPTEK dan POLEKSOSBUD HANKAM. Nilai-nilai dari Pancasila dipakai dalam menentukan kebijakan pembangunan yang sesuai dengan tujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia.
            Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional berdasarkan sila-silanya. Semua aspek pembangunan berdasar pada Sila I-V. Sehingga Pancasila benar-benar diaktualisasikan dengan tujuan kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang tercakup dalam warga negara.

2.         Saran
Pancasila sebagai paradigma pembangunan diharapkan mampu menyejahterakan rakyat Indonesia. Sehingga mampu menciptakan keadilan bagi seluaruh rakyat dan Pancasila tidak dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk mendominasi rakyat dan sebagai pelanggeng kekuasaan.
Pancasila sebagai dasar negara tetap dipegang teguh dan tidak dipertanyakan keabsahannya sebagai paradigma pembangunan yang sesuai jaman dan derasnya arus globalisasi.




DAFTAR RUJUKAN
Ekonomi Indonesia 2013 tumbuh 5.78%. www.bps.go.id/brs_file/pdb_05feb14.pdf. (online) diakses 31 Maret 2014 pukul 9.45
Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta : PARADIGMA
Pancasila sebagai Paradigma. www.empatpilarkebangsaan.web.id/pancasila-sebagai-paradigma. (online) diakses 25 Maret 2014 pukul 16.03
UUD ’45. Surabaya : ANUGRAH


METODE PENULISAN SEJARAH



METODE PENULISAN SEJARAH


MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Pengantar Ilmu Sejarah
Yang dibina oleh Ibu Indah Wahyu Puji Utami, S.Pd, S.Hum, M.Pd
Oleh
Alifah Nur Muslimah               (130731607245)
Galih Yoga Wahyu Kuncoro   (130731615690)
Intan Febri Layyinah               (130731615706)
Muhammad Tarmizi                 (130731607232)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
SEPTEMBER 2013



KATA PENGANTAR

Memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, karena atas berkah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini, yang berjudul Metode Pembelajaran Sejarah dengan harapan dapat mengetahui, serta memahami metode pembelajaran  sejarah yang baik.  Dan juga  tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah mendukung dalam pembuatan makalah ini.
Penulis sadar makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kritik maupun saran membangun diharapkan dapat diberikan kepada penulis untuk lebih menyempurnakan makalah ini semoga bermanfaat. Terima kasih.





                                                                        Malang, 17 September 2013



                                                                                    Penulis



DAFTAR ISI
                                                                                      Halaman
KATA PENGANTAR …...……….………………………………………………… i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………….. ii
BAB 1 PENDAHULUAN
                        Latar Belakang Masalah ……………………………………………………..1
                        Topik Pembahasan …………………………………………………………...1                                Tujuan Penulisan Makalah ...…………………………………………………2
BAB 2 PEMBAHASAN
            Penggunaan Catatanbawah …………………………………………….……..3
            Imajinasi didalam Historiografi ………………………………………..……..5
            Masalah Seleksi, Penyusunan, dan Tekanan ………………………….……...6
            Mendefinisikan Kembali Historiografi ……………………………….……....6
            Masalah Penyusunan : Periodesasi …………………………………….……..7
            Penulisan Sejarah yang Bersifat Ilmiah ……………………………….……...9
            Metodologi Sejarah …………………………………………………….…….10
BAB 3 PENUTUP
            Kesimpulan …………………………………………………………………..13
            Saran …………………………………………………………………………14
DAFTAR RUJUKAN ……….……………………………………….……………...15







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sudah banyak sekali buku-buku tentang sejarah yang pernah kita baca, mulai dari zaman prasejarah sampai sejarah pada zaman milenium ini, buku-buku tersebut memberikan bacaan dan ilmu yang sangat kita butuhkan sebagai seorang agen sejarah, segala informasi yang tersusun secara sistematis dan memberikan kita banyak sekali pengetahuan yang lebih jauh tentang sejarah, semuanya tersusun rapi, memiliki sistematika yang jelas sehingga mudah untuk difahami.
Namun tak banyak kita ketahui, bagaimanakah sebenarnya metode penulisan buku sejarah tersebut sehingga pengetahuan tentang sejarah dapat disajikan dengan begitu bagus dengan bahasa yang baik dan efisien sehingga memudahkan kami dalam memahami sejarah.
Inilah yang mendorong kami untuk mencari informasi lebih tentang metode penulisan sejarah, dengan metode yang seperti apa sehingga paparan sejarah yang disajikan bisa begitu sistematis? Tidak asal tulis? Bagaimana cara menuliskan sejarah dengan metode yang baik dan tidak membingungkan pembaca? Semoga makalah ini bisa menjawab ketidak tahuan kami tentang metode penulisan sejarah.

B.     Topik Pembahasan
Bertitik tolak dari latar belakang masalah diatas, kami mengidentifikasi pokok-pokok masalah yang akan dibahas yaitu :
1.                 Bagaimana cara menulis sejarah dengan baik dan benar?
2.                 Apa sajakah metode yang digunakan dalam penulisan sejarah?
3.                 Bagaimana metode penyusunan sejarah?

C.    Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan topik pembahasan diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah mendorong mahasiswa agar mampu :
1.                 Untuk mengidentifikasi metode apa saja yang digunakan dalam penulisan sejarah
2.                 Untuk memudahkan mahasiswa dalam menyusun historiografi dengan baik dan benar
3.                 Untuk menginformasikan kepada mahasiswa bagaimana cara menyusun penulisan sejarah.
4.                 Membuat suatu tulisan tentang sejarah setelah mengetahui metode penulisannya.




BAB II
PEMBAHASAN
A.   Penggunaan catatanbawah
Sejarawan didalam karyanya yang serius meniadakan catatanbawah, dengan demikian meniadakan sarana yang memungkinkan orang lain menguji kesimpulan-kesimpulannya. Catatanbawah memungkinkan pembaca yang cerdas untuk mengetahui bagaimana pengarang dapat mengetahui dan bagi seorang sejarawan, dan bukan sebagai penghasil sesuap nasi bagi keluarganya, seorang pembaca yang cerdas sama halnya dengan seratus pembaca dari jenis yang sering bergerombol didalam klub-klub buku. Tambahan pula catatanbawah memungkinkan pengarang yang tajam untuk memperoleh ketelitian yang lebih besar.
Sebab yang paling dapat dipertanggungjawabkan untuk memakai catatanbawah adalah untuk menunjukkan sumber bagi sesuatu pernyataan yang dapat diragukan kebenarannya. Dengan demikian catatanbawah berfungsi seperti panggilan terhadap seorang saksi didalam pengadilan. Diharapkan bahwa kesaksian itu dibuat sesingkat-singkatnya. Kadang-kadang, jika para saksi berbeda paham, maka perlu memanggil lebih dari satu, yakni untuk menyatakan perbedaan pahamnya dan bahkan untuk menghilangkan perbedaan paham diantara mereka dalam suatu catatanbawah. Dalam hal semacam itu, catatanbawah menjadi agak panjang tetapi akan tetap dipergunakan secara khusus untuk tujuan-tujuan dokumentasi, untuk menunjukkan sumber bagi kesaksian yang menjadi dasar daripada pernyataan yang diberi catatanbawah.

1.      Intisari metode sejarah
Jika metode sejarah mengalami perubahan yang lebih besar pada masa yang akan datang dibandingkan dengan masa yang lampau, maka sejarawan dimasa yang akan datang akan menempuh cara-cara yang sama seperti diuraikan didalam buku ini dalam menghadapi dokumen sejarah yang langsung hidup. Setelah menemukan dokumen-dokumen itu, ia harus menetapkan dua hal: Pertama, apakah dokumen-dokumen itu otentik,  atau bagian-bagian yang mana yang otentik jika hanya sebagian diantaranya atau hanya beberapa bagian dari yang otentik? Kedua, seberapa banyak dari bagian-bagian otentik tersebut yang dapat dipercaya, dan sejauh mana? Hanya itulah yang dapat diperoleh dokumen-dokumen itu sendiri. Akan tetapi hanya menemukan dan menetapkan otentik-tidaknya dokumen atau bahkan mengeditnya secara kritis dengan menunjukkan kredibilitasnya. Jika ingin menjadi sejarawan, satu hal yang berat akan dihadapinya. Masalah itu adalah bagaimana caranya harus menyusun detail yang telah disimpulkan dari dokumen-dokumen otentik menjadi suatu kisah atau penyajian yang saling berhubungan. Hanya apabila telah melakukan ketiga hal tersebut maka dapat disebut sebagai seorang sejarawan.
Dengan demikian cara menulis sejarah mengenai suatu tempat, peristiwa, lembaga, atau orang. Yang bertumpu pada empat kegiatan pokok :
1.                 Pengumpulan objek yang berasal dari jaman itu dan pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis, yang boleh dijadikan relevan.
2.                 Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak otentik.
3.                 Menyimpulkan kesaksian yang tidak dapat dipercaya mengenai bahan-bahan yang otentik.
4.                 Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya menjadi suatu kisah atau penyajian yang berarti. Suatu pengertian yang mngenai empat langkah tersebut diperlukan untuk membaca secara cerdas apa yang telah dituliskan oleh sejarawan. Buku ini berisi uraian mengenai empat langkah tersebut.

B.   Imajinasi didalam historiografi
Sejarawan tidak diijinkan untuk menghayalkan hal-hal yang menurut akal tidak mungkin terjadi. Untuk tujuan tertentu yang kemudian akan kita bahas, ia boleh boleh menghayalkan hal-hal yang mungkin telah terjadi. Tetapi ia harus menghayalkan hal-hal yang kiranya pasti telah terjadi. Tidak mungkin untuk merumuskan aturan-aturan mengenai penggunaan imajinasi didalam sejarah kecuali ketentuan-ketentuan yang bersifat umum. Merupakan pepatah yang yang telah usang bahwa sejarawan yang paling mengetahui hidup sekarang, juga akan mengetahui hidup yang lampau.  Karena watak manusia tidak banyak berubah dalam masa historis, generasi-generasi sekarang dapat mengerti generasi-generasi yang lampau dilihat dari sudut pengalamannya sendiri.
Sejarawan yang dapat mengajukan analogi dan kontras yang terbaik adalah mereka yang paling besar kesadarannya mengenai analogi dan kontras yang mungkin ada, yakni mempunyai jangkauan pengalaman, imajinasi, kearifan, dan pengetahuan yang seluas-luasnya. Sayang sekali tidak ada pepatah usang yang mengatakan bagaimana caranya untuk memperoleh jangkauan daripada sifat-sifat dan pengetahuan yang diinginkan itu, atau bagaimana cara mengalihkannya untuk mengerti masa lampau. Karena segalanya itu tidak hanya dihimpun dengan peraturan atau tauladan, kerajinan dan doa, meskipun semuanya itu dapat menolong. Dan karena itu, dalam arti usaha mensistesakan data sejarah menjadi kisah atau penyajian dengan jalan menulis buku-buku sejarah dan artikel atau mengungkapkan kuliah-kuliah sejarah, tidak mudah memberi aturan-aturan. Harus diluangkan tempat bagi bakat asli dan inspirasi. Dan agaknya hal itu merupakan sesuatu yang baik. Tetapi karena peraturan dan teladan mungkin ada gunanya, disini akan diusahakan untuk memberikan beberapa peraturan dan contoh.

C.   Masalah Seleksi, Penyusunan Dan Tekanan
Metode sejarah bersifat ilmiah jika dengan ilmiah dimaksudkan “mampu untuk menentukan fakta yang dapat dibuktikan” dan jika dengan fakta dimaksudkan suatu unsur yang diperoleh dari hasil pemeriksaan yang kritis terhadap dokumen sejarah dan bukannya suatu unsur dari aktualitas yang lampau. Apaka menguntungkan atau merugikan, fakta-fakta yang tidak bersambungan pada dirinya sendiri tidak merupakan hasil akhir sejarah. Sesuatu deskripsi mengenai masyarakat-masyarakat, kondisi-kondisi, gagasan-gagasan, dan lembaga-lembaga yang lampau atau suatu kisah mengenai karir dan peristiwa yang lampau biasanya merupakan tujuan bagi penyelidikan sejarah secara individual. Suatu deskripsi atau peristiwa seperti itu sering kali disebut secara terpisah sebagai sesuatu sejarah dan, sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, dalam keseluruhannya penulisan-penulisa sejarah kadang-kadang disebut historiografi.

D.   Mendefinisikan Kembali Historiografi
Kenyataan bahwa ada arti-arti baru yang diberikan kepada kata-kata yang telah dipergunakan dengan arti yang lain, menyebabkan timbulnya sebagian kekacauan dalam diskusi-diskusi mengenai hakekat sejarah. Kiranya ada baiknya untuk mengulangi disini bahwa suatu sejarah merupakan suatu usaha yang sengaja untuk memberikan pertelaan untuk mengenai sesuatu peristiwa lampau atau kombinasi peristiwa-peristiwa; yakni apa yang disebut sejarah tertulis, untuk memperbedakannya dari sejarah-sebagai-aktualitas (atau totalitas masa lampau manusia baik yang diketahui atau tidak) dan dari sejarah yang direkam (atau bagian itu dari sejarah-sebagai-aktualitas yang bagaimanapun caranya telah dimasukkan kedalam rekaman yang dapat ditemukan, entah sudah ditemukan atau belum).
Dalam suatu jaman dimana kuliah-kuliah pada umumnya tidak dibaca dari naskah tulisan tangan, sebagaimana yang terjadi dalam masa belum adanya cetakan,  historiografi harus pula ditafsirkan meliputi sejarah lisan, karena kuliah, meskipun sarana penerbitan yang lebih murah, lebih terbatas dan tidak terlalu awet dibandingkan dengan pencetakan, mau tidak mau merupakan publikasi juga.
Dan historiografi yang menunjuk pada tulisan atau bacaan yang dapat disebut Historis harus diperbedakan dari kata yang sama apabila berarti proses penulisan sejarah (yakni, mempersatukan didalam sebuah sejarah, unsur-unsur yang diperoleh dari rekaman-rekaman melalui pengetrapan yang seksama daripada metode sejarah). Dalam halaman-halaman yang akan datang akan dibahas historiografi dalam arti kata yang kedua.

E.   Masalah Penyusunan: Periodesasi
Penyusunan data sejarah yang paling masuk akal adalah penyusunan secara kronologis, yakni dalam periode-periode waktu. Sebabnya ialah karena kronologi merupakan satu-satunya norma objektif dan konstan yang harus diperhitungkan oleh para sejarawan. Bahkan kronologi hanya secara relatif bersifat objektif, karena periodesasi dapat dan seringkali bersifat sewenang-wenang. Terlalu mudah sebutan-sebutan memberikan kesan bahwa perkembangan atau cita-cita yang menonjol itu tidak terdapat pada zaman lain dalam proporsi yang mencolok atau bahwa zaman-zaman yang ditonjolkan semacam itu tidak dapat disebut dengan nama lain dengan sama akuratnya.
Tindakan memberikan suatu nama deskriptif kepada sesuatu periode sejarah mungkin merupakan cara yang baik untuk memberikan kepada periode itu suatu “kerangka referensi” yang dapat dipergunakan untuk mengerti nilai-nilainya. Akan tetapi keuntungan itu menjadi hilang jika meniadakan usaha meniadakan usaha mencari kerangka referensi yang lain. Tak ada satupun zaman yang dapat disebutkan dengan tepat dengan memberikan satu sifat tunggal yang eksklusif. Usaha-usaha seperti itu seringkali mengakibatkan penggunaan secara kabur dan berkiasan terhadap istilah yang memberikan karakteristik.
Dalam knyataannya, studi sejarah sudah sangat dirugikan oleh kecenderungan untuk memberikan kepada periode-periode tertentu yang hanya relatif tepat, terutama sekali didalam tindakan membagi sejarah didalam periode-periode kuno, pertengahan dan modern. Pertama, jikapun sebutan-sebutan itu sudah terasa kabur dari sejarah Barat. Untuk budaya-budaya lain seperti budaya Cina atau Jepang telah melalui tahap-tahap perkembangan yang seolah-olah merupakan transisi yang analogis mulai suatu zaman klasik melalui suatu periode peralihan menuju kepada sesuatu jaman modern, maka pembatasan-pembatasan kronologis terhadap tahap-tahap itu tidak serasi dengan analogi baratnya. Kedua, kata-kata seperti kuno dan abad pertengahan cenderung kepada prasangka mengenai jarak waktu, kematian, dan keusangan yang seringkali akan tersangkat andaikata hasrat untuk memeriksa lebih lanjut tidak dipadamkan. Bagian terbesar dari sejarah yang biasa kita sebut kuno.
Peristiwa-peristiwa sekarang nampak besar dan memakan tempat yang banyak halaman didalam buku sejarah. Sejarawan manakah yang masih menganggap sebab-sebab bagi Perang Dunia I sebegitu penting sebagaimana yang dianggap oleh sebagian mereka yang termasuk generasi antara 1919 dan 1929? Perspektif sejarah, yakni kemampuan untuk meliahat peranan yang layak dari pada seperangkat peristiwa didalam karir panjang umat manusia, hanya dapat diperoleh dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, akan lebih baik keadaanya jika lebih banyak sejarawan memusatkan diri kepada masalah-masalah yang kekal dan lembaga-lembaga atau gagasan-gagasan yang menentukan didalam sejarah sejak rekamannya yang paling awal sampai masa kini, daripada mempelajari periode-periode tertentu didalam sejarah. Bahwa sesuatu kecenderungan kearah itu telah ada,  dibuktikan oleh perhatian yang semakin bertambah dari pihak para sejarawan terhadap tahap-tahap perkembangan sejarah seperti sejarah ekonomi, sejarah budaya, sejarah perniagaan, sejarah pertanian, dsb.

F.    Penulisan sejarah yang  bersifat ilmiah
Kegiatan terakhir dari penelitian sejarah (metode sejarah) adalah merangkaikan fakta berikut maknanya secara kronologis/diakronis dan sistematis, menjadi tulisan sejarah sebagai kisah. Kedua sifat uraian itu harus benar-benar tampak, karena kedua hal itu merupakan bagian dari ciri karya sejarah ilmiah, sekaligus ciri sejarah sebagai ilmu.
Selain kedua hal tersebut, penulisan sejarah, khususnya sejarah yang bersifat ilmiah, juga harus memperhatikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah umumnya.
1.                 Bahasa yang digunakan harus bahasa yang baik dan benar menurut kaidah bahasa yang bersangkutan. Kaya ilmiah dituntut untuk menggunakan kalimat efektif.
2.                 Merperhatikan konsistensi, antara lain dalam penempatan tanda baca, penggunaan istilah, dan penujukan sumber.
3.                 Istilah dan kata-kata tertentu harus digunakan sesuai dengan konteks permasalahannya.
4.                 Format penulisan harus sesuai dengan kaidah atau pedoman yang berlaku, termasuk format penulisan bibliografi/daftar pustaka/daftar sumber.
Kaidah-kaidah tersebut harus benar-benar dipahami dan diterapkan, karena kualitas karya ilmiah bukan hanya terletak pada masalah yang dibahas, tetapi ditunjukkan pula oleh format penyajiannya.
G.  Metodologi Sejarah
Metodologi sejarah antara lain:
1.                 Penulisan sejarah di Indonesia
Historiografi Indonesia modern baru dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejrah Nasional Indonesia pertama di Yogyakarta. Adanya perubahan cara penulisan sejarah dari Neerlandocentrisme menjadi Indonesiacentrisme.  Kategori pertama dari kepustakaan sejarah ialah yang ditulis oleh sejarawan akademis.  Kegiatan penulisan sejarah yang lain meliputi berbagai kegiatan yang disponsori pemerintah dalam bentuk proyek-proyek penulisan, sejarah militer, sejarah popular, sejarah lisan dan lain-lain.  Sebagai usaha tambahan dari penulisan sejarah adalah usaha penerbitan arsip yang dikerjakan oleh Arsip Nasional. 
Dapat disimpulkan kategori tersebut adalah sejarah akademis, sejarah Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (IDSN) dan sejarah militer, dan sejarah popular.

2.      Sejarah Lisan
Penggalian sumber sejarah atau informasi mengenai sejarah melalui teknik wawancara dengan orang-orang yang terlibat langsung atau saksi suatu peristiwa pada masa lampau. 
Kegunaan dari sejarah lisan adalah sebagai metode tunggal, serta sebagai bahan dokumenter.  Sejarah lisan juga mempunyai sumbangan yang besar dalam mengembangkan substansi penulisan sejarah, diantaranya dalam menggali sejarah dari pelaku-pelakunya tidak memiliki batasan, dapat mencapai pelaku sejarah yang tidak disebutkan dalam dokumen, dan memungkinkan perluasan permasalahan sejarah.

3.      Sejarah Kebudayaan
Sejarah kebudayaan adalah usaha mencari “morfologi budaya”, studi tentang struktur, pendapat dari Huizinga (1872-1945).  Tugas dari sejarah kebudayaan adalah mencari pola-polakehidupan, kesenian dan pemikiran secara bersama-sama.  Sejarah kebudayaan mempunyai peranan penting, karena hanya dengan melihat kemasa lalu kita dapat membangun masa depan dengan lebih baik.  Sejarah juga menawarkan cara pandang yang kritis mengenai masa lalu, sehingga tidak terjebak pada archaisme dan makronisme, sekalipun kita berpijak pada jati diri yang terbentuk dimasa lampau sejarah kita.

4.      Seminar Sejarah Lokal 1984
Seminar sejarah lokal, diselenggarakan pada tanggal 17-20 September 1984 di Medan. Hal-hal yang dibahas saat seminar sejarah lokal, 1984 adalah:
a.                 adanya kesadaran mengenai dimensi waktu dalam penulisan sejarah yang tampak dalam tulisan mengenai pendidikan
b.                 Tersingkapnya lebih banyak lagi garis depan sejarah
c.                 Adanya pendekatan antropologis dalam sejarah local Sumatera Utara
d.                 Hubungan migrasi dan perubahan sosial yang mendapat perhatian dari beberapa tulisan
e.                 Adanya teori dan konsep dari antropologi politik yang tampak secara implicit dalam tulisan mengenai Indonesia bagian timur
f.                 Sejarah revolusi yang diwakili oleh beberapa tulisan
g.                 Sejarah politik, terutama sejarah politik kontemporer, masih menjadi pantangan bagi sejarawan.
Sejarah lokal dalam bentuknya yang mikro telah tampak dasar-dasar dinamikanya, sehingga peristiwa sejarah dapat diterangkan melalui dinamika internal yang di tiap daerah  mempunyai kekhasan tersendiri yang otonom.
5.      Biografi
Biografi adalah catatan tentang hidup seseorang, meskipun sangat mikro, namun menjadi bagian dalam mosaic sejarah yang lebih besar. Otobiografi adalah biografi yang ditulis sendiri
Setiap biografi seharusnya mengandung hal-hal sebagai berikut:
a.                 kepribadian tokohnya
b.                 kekuatan sosial yang mendukung
c.                 lukisan sejarah zamannya
d.                 keberuntungan dan kesempatan yang datang
Terdapat dua macam biografi,yaitu Portrayal (portrait) artinya biografi hanya mencoba memahami dan Scientific (ilmiah) orang berusaha menerangkan tokohnya berdasar analisis ilmiah.

6.      Sejarah Kuantitatif
Sejarah kuantitatif ialah penggunaan metode kuantitatif dalam penulisan sejarah.
Sejarah kuantitatif menggunakan teknik matematika sehingga lebih objektif, sedangkan kualitatif menggunakan hermeunetika berpa interpretasi terhadap pikiran, perkataan dan perbuatan.
Sejumlah permasalahan yang dapat dikembangkan oleh sejarah kuantitatif yakni ekonomi, demografi, sosiologi, politik. Sumber sejarah ini adalah Biro Pusat Statistik (BPS).
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Penelitian sejarah harus dilandasi atau berpedoman pada kaidah-kaidah metode sejarah. Jika tidak, penelitian itu hanya akan menghasilkan tulisan sejarah semi ilmiah atau bahkan sejarah populer. Oleh karena itu calon peneliti sejarah harus memahami kaidah-kaidah metode sejarah dan mampu mengimplementasikannya, agar penelitian itu menghasilkan karya sejarah ilmiah.
Penulisan sejarah ilmiah dituntut untuk menghasilkan eksplanasi mengenai permasalahan yang dibahas. Eksplanasi itu diperoleh melalui analisis. Untuk mempertajam analisis, dalam proses penulisan sejarah, aplikasi metode dan teori sejarah perlu ditunjang oleh teori dan/atau konsep ilmu-ilmu sosial yang relevan (sosiologi, antropologi, ekonomi, politik, dll.). Dengan kata lain, penulisan sejarah yang dituntut memberikan eksplanasi mengenai masalah yang dibahas, perlu dilakukan secara interdisipliner dengan menggunakan pendekatan multidimensional (multidimensional approach). Hal itu sesuai dengan ciri-ciri dan karakteristik sejarah sebagai ilmu.
Oleh karena itu, penelitian sejarah dan hasilnya dapat membantu penelitian dan pengembangan kebudayaan. Sejarah mengkaji aspek-aspek kehidupan manusia di masa lampau, termasuk kebudayaan.



B.     Saran
Tiada hal yang sempurna di dunia ini, kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Termasuk makalah ini, pastilah ada kesalahan atau kekurangan. Demi terwujudnya makalah yang mendekati kesempurnaan, penulis memerlukan kritik dan saran yang membangun yang bersifat dan bertujuan untuk memperbaiki makalah penulis kedepannya. Apabila penulis ingin membuat makalah lagi, maka dapat menggunakan kritik dan saran yang dibuat oleh pembaca untuk mengurangi kesalahan dan kekurangan dalam membuat makalah.




DAFTAR RUJUKAN

Gottschalk, L. 1975. Mengerti Sejarah (Understanding History: A Primer of Historical Method) (Nugroho Notosusanto, Trans.). Malang : Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.